Penulis Wannabe


penulis wannabe


Penulis Wannabe
-- Aku nggak ingat umur berapa aku bisa membaca dan menulis. Kalo sok bisa baca sih udah dari umur dua tahunan gitu. setidaknya ada bukti otentik berupa foto untuk hal itu.


Di masa-masa menjadi anak sekolahan yang berseragam putih merah pada tahun 1980-an, aku mulai merasa senang menulis.

Mulai Suka Menulis

Siapa nggak senang, sih, kalau tugas mengarang yang dibuat untuk pelajaran Bahasa Indonesia dapat pujian sepanjang kereta api dari guru? Mana lagi, waktu itu aku masih murid baru di SD-ku (kelas 6, pindahan dari Banda Aceh ke Medan). Karangan itu pun dipajang di dinding kelas. Halaah...! Mantap kali.

Masuk usia ABG, mulai deh kenal majalah Gadis, Nona (udah nggak terbit lagi), Hai, Anita (udah berhenti terbit), dll. Nggak cuma baca majalah Bobo, Ananda (udah nggak terbit), dan Tomtom (udah wasalam juga) doang. 

Pengeeen... banget bisa seperti Hilman Harriwijaya, Zara Zettira, dan Gol A Gong (selain pengen jadi gadis sampul juga. Huehehe.... Gadis sampul rapor!).

Baca Juga: Menulis Saat Kondisi Ekonomi Tak Manis

Mulai kirim-kirim cerpen. Alhamdulillah... ditolak semuanya. Saking seringnya, Pak Pos jadi hafal banget sama aku.

Kalo pas aku pulang sekolah dan pak pos lewat dengan sepedanya (masa itu masih banyak pak pos bersepeda), dengan riang gembira Pak Pos akan manggil aku, "Retno...! Retno...! Ini ada surat untuk kau dari Jakarta. Bagus kali awak ketemu kau di sini, tak perlu capek-capek awak dayung sepeda sampai Karya Ujung sana...."

Mudah ditebak, isi surat itu adalah naskah yang dikembalikan.

Catatan Sok Akrab

Tahun pertama di SMA, sama sekali nggak terpikir untuk nulis. Boro-boro! Prioritas terpenting saat itu adalah menghilangkan warna merah dari nilai fisika, matematika, kimia, dan olahraga dari raporku. Prioritas berikutnya adalah menghilangkan jerawat yang tumbuh subur bersamaan dengan jebloknya nilai-nilai ulangan.

Tahun terakhir di SMA, mulai menulis lagi. Lhaa....! Bukannya harus udah konsen untuk ujian akhir, yak? Pembacanya hanya teman-teman dekat. Yang sering sih nulis catatan sejarah-tata negara-sosiologi antropologi  dengan gaya narasi. 

"Jadi, si Thomas Macchiavelli bete banget melihat kondisi negara seperti itu. Lalu dia memutuskan untuk...."

"Perang Diponegoro berlangsung tahun 1825-1830. Kulonuwun... kulo nembak sampeyan yo.... Dooooor...!"

Baca Juga: Penulis, Dulu dan Sekarang

Pelatihan Menulis

Setelah jadi anak kuliahan di Sekeloa, Bandung (waktu itu kampus Fikom Unpad masih di Sekeloa, belum boyongan ke Jatinangor).... 

"No, ntar abis kuliah jangan pulang dulu ya. Ikut latihan penulisan cerpen yuk."
"Eung...."
"Benny Rhamdani, No. Penulis beken, lho."
"Iya aku juga tau. Sering baca cerpennya, kok. Tapi kok dia ada di sini?"
"Ya ada dong. Dia anak angkatan atas. Anak Jurnalistik. Ikut ya, No. Banyak kok yang ikutan."
"Lihat nanti, deh."

(sumber foto: http://www.willgoto.com/1/145669/liens.aspx)


Ikutkah aku? Hehe... Maaf, Kang Benny. Waktu itu aku buru-buru pulang, soalnya pengen nonton Tintin di TV.

Lucunya, bertahun-tahun setelah lulus kuliah, Kang Benny jadi editor bukuku di Penerbit Mizan. Zaman kuliah dulu aku nggak ikut pelatihan menulis yang dia mentori. Sekian tahun setelah lulus kuliah, baru aku belajar darinya.

***

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.