Sesosok jasad terbujur
kaku di meja yang sengaja diletakkan di pelataran mushalla. Terbaring dalam
hening. Tampak agung walau tersungkur bergenang darah mengering dari luka
menganga di wajah yang bola matanya raib tercerabut dari tempatnya. Tubuh
berperawakan sedang namun berisi itu menjadi saksi bisu kekejaman tangan-tangan
yang pernah mendera, penuh lubang peluru dan cabikan bayonet.
Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popor senapan. Satu… dua… tiga… jari-jari tangan sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari-jari itu biasanya lincah memetik ukulele, melantunkan nada merdu.
Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popor senapan. Satu… dua… tiga… jari-jari tangan sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari-jari itu biasanya lincah memetik ukulele, melantunkan nada merdu.
Siapa Letkol Soredji?
Blurb novel yang diambil dari bagian Prolog ini langsung membetot perhatian sekaligus mengaduk-aduk perasaan. Penasaran? Sangat.
Nama Letkol Mochammad Sroedji mungkin tak banyak
dikenal orang, terlebih yang tidak berasal dari Jawa Timur (khususnya Jember,
Malang, Kediri, dan Lumajang) dan bukan pencinta sejarah. Wajar jika kemudian
banyak yang bertanya-tanya, “Siapa sih dia? Kenapa kisahnya sampai dinovelkan?”
Sroedji lahir pada tanggal 1 Februari 1915 dari kedua
orangtua yang berdarah Madura, Hasan dan Amni. Sejak kecil, anak kedua dari
tujuh bersaudara ini santun, luwes dalam bergaul, dan setia kawan. Ia juga menunjukkan minat
besar untuk bersekolah. Sayangnya, Sroedji hanya anak pedagang kecil dan bukan
keturunan ningrat. Kesempatannya untuk bersekolah terbatas pada sekolah kelas
II (Ongko Loro).
Sroedji tidak puas. Ia sudah menguasai semua yang
diajarkan di sekolah rakyat jelata itu. Ia ingin bersekolah di Hollands
Indische School (HIS) yang menggunakan bahasa Belanda. Untunglah budenya
menikah dengan seorang keturunan ningat.
Pakdenya, Pusponegoro, memasukkan dan menjamin Sroedji di HIS. Di sana Sroedji memperlihatkan
kecemerlangannya. Setamat dari HIS,
Sroedji meneruskan sekolah ke Ambactsleergang, sekolah kejuruan bidang
pertukangan.
Meskipun mengenyam pendidikan di sekolah Belanda dan fasih berbahasa Belanda, Sroedji adalah seorang nasionalis tulen. Cita-citanya terhadap kemerdekaan negara yang bernama Indonesia sangat kuat. (halaman 35)
Sejak di Ambactsleergan,
Sroedji ingin bergabung di ketentaraan. Namun, yang ada waktu itu hanyalah Koninklijke
Millitaire Academie (KMA) dan Corps Opleideing Reserve Officieren (CORO).
Sroedji tidak tertarik untuk bergabung dalam korps militer bentukan Belanda
yang ia dan keluarganya anggap kaum kafir yang memerangi bangsanya
sendiri. (halaman 45-46)
Ketika Jepang membuka pendaftaran perwira tentara PETA, Sroedji langsung tertarik.
“Inilah saat yang tepat untukku menyumbangkan tenaga dan pikiran demi membela tumpah darahku,” bisik hati Sroedji. (halaman 46)
Keinginan Sroedji didukung sepenuhnya oleh sang istri,
Rukmini.
“…jika menjadi tentara adalah panggilan
jiwamu sejak dulu, penuhilah Pak. Seseorang akan berhasil jika melakukan
pekerjaan sesuai hati nuraninya. Berangkatlah, Pak. Aku rela kaujalani
kehidupan tentara. Enyahkan penjajah dari bumi pertiwi.” (halaman 48)
Selanjutnya, cerita bergulir ke masa-masa pelatihan
tentara PETA di Bogor, kembalinya Sroedji ke Jember untuk membentuk Daidan dan
merekrut rakyat menjadi tentara PETA, perang gerilya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, hingga pertempuran terakhir di Karang Kedawung, Jember.
Berjiwa
Novel perdana Irma Devita ini tak melulu bercerita mengenai pertempuran antara pasukan Sroedji melawan Belanda. Sisi-sisi kemanusiaan, cinta, dan persahabatan pun terangkai di sini. Tak hanya bercerita dari sisi Sroedji, tetapi juga dari sisi Rukmini, sang istri.
Novel perdana Irma Devita ini tak melulu bercerita mengenai pertempuran antara pasukan Sroedji melawan Belanda. Sisi-sisi kemanusiaan, cinta, dan persahabatan pun terangkai di sini. Tak hanya bercerita dari sisi Sroedji, tetapi juga dari sisi Rukmini, sang istri.
Keikhlasan Rukmini melepas suaminya berjuang, kerelaannya menjalani hidup susah dan mengungsi ke sana kemari demi keselamatan diri dan keluarganya, serta dukungannya pada sang suami menjadi amunisi tersendiri bagi Sroedji.
Sosok Rukmini dalam novel ini tak kalah istimewanya
dengan sosok Sroedji itu sendiri. Benarlah pendapat yang mengatakan bahwa di
balik keberhasilan seorang suami ada doa dan dukungan seorang istri.
Novel ini enak dibaca. Alur ceritanya mengalir
dan begitu hidup. Bisa jadi hal ini tak lepas dari kedekatan Irma dengan
narasumber novel ini. Rukmini adalah nenek Irma. Ibu Irma adalah Pudji Redjeki
Irawati Sroedji, putri bungsu Sroedji yang baru berusia satu tahun ketika
Sroedji tewas dalam pertempuran di Karang Kedawung, Jember. Bisa jadi pula
karena tekad kuat Irma untuk menuliskan kisah tentang Mbah Kakung Sroedji. “Mbah, Irma janji suatu saat kelak Irma
akan menuliskan cerita tentang Mbah Kakung.” (halaman viii)
Kedekatan tersebut menjadikan novel ini terasa berjiwa.
Saya dapat merasakan debar hati Rukmini ketika pertama kali bertemu Sroedji di
pasar, kebahagiaan Rukmini bersuamikan Sroedji
yang tampan dan penyayang, kecemasan Rukmini setiap kali mendengar
propaganda Belanda bahwa Sroedji tewas dalam pertempuran, ketegangan dan
kelelahan Rukmini ketika harus mengungsi saat sedang hamil tua, hingga remuk
redamnya hati Rukmini ketika anak buah Sroedji mengabarkan kematian sang
komandan. Saya pribadi percaya bahwa apa yang ditulis dari hati akan sampai ke
hati pembacanya.
Bagi saya, novel ini pun memiliki nilai plus karena
Irma tak sekadar menulis berdasarkan penuturan sang nenek. Dalam press
release-nya disebutkan bahwa Irma melakukan riset yang sangat serius. Ia menelusuri data-data lama
dan mewawancarai banyak orang, diutamakan saksi hidup yang mengerti masa-masa
sulit Agresi Militer. Ia juga melakukan
riset di Museum Brawijaya, Museum PETA, Museum Angkatan Darat, dan Arsip Nasional. Dengan
begitu, novel ini menjadi lebih objektif serta tidak tenggelam dalam kebanggaan
dan kenangan sentimental seorang cucu.
![]() |
Press release novel Sang Patriot. Sumber:
https://twitter.com/irmadevita/status/460078961398013952/photo/1
|
Rekomendasi
Acungan jempol
juga saya berikan pada Agus Hadiyono, editor novel ini. Dalam blog http://www.rinurbad.com/cerita-penyuntingan-sang-patriot/ ini tertulis bahwa Agus dan istrinya yang juga seorang editor, Rini, ikut
melakukan riset tentang Letkol Mochammad Sroedji. Untuk lebih menjiwai, video
lagu keroncong Bunga Anggrek pun ikut menemani dalam proses pengeditan.
Lagu keroncong ini adalah salah satu lagu kesayangan Sroedji (halaman 19).
Memang ada beberapa typo dalam novel ini yang tertangkap
oleh mata saya, misalnya: Perdana menteri Inggris (halaman 39), sungai Brantas
(halaman 84), karesidenan Besuki
(halaman 64), yang Maha Tinggi (halaman 205), mempercayai (halaman 38), satu
persatu (ada beberapa kali, salah satunya di halaman 150), tentangga (halaman
218), memperdulikan (halaman 223), di potongnya (halaman 239), dan penggunaan
tanda koma setelah tanda petik tutup dalam kalimat langsung (ada beberapa kali, salah satunya di
halaman 221). Namun, sedikit typo itu tidak mengurangi nilai novel ini di mata
saya. Ibarat pepatah, tak ada gading yang tak retak, tak ada buku yang tak ber-typo. :)
Saya tetap merekomendasikan novel ini pada calon
pembaca. Ada baiknya jika novel ini juga disosialisasikan ke sekolah-sekolah
dan kampus-kampus untuk memperkenalkan sejarah dan nasionalisme pada generasi
muda. Kita bisa hidup di alam merdeka seperti ini adalah karena pengorbanan jiwa
raga para pendahulu kita.
Judul : Sang Patriot, Sebuah Epos
Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Editor :
Agus Hadiyono
Penerbit : Inti Dinamika
Tahun Terbit : Februari
2014 (cetakan pertama)
Tebal : xii + 268 halaman
ISBN : 978-602-14969-0-9

Artikel ini disertakan dalam lomba review novel Sang Patriot