Tahun 1998 adalah pertama kalinya saya mengetahui ada program DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) BNI, yang menawarkan hidup terencana bersama BNI. Tahun 1998 itu pula pertama kalinya saya resmi bekerja
sebagai orang kantoran di Jakarta.
Sesuatu banget rasanya. Ketika Indonesia sedang gonjing-ganjing oleh
krisis moneter, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan karena perusahaan
mereka bangkrut, saya yang sarjana fresh graduate
malah langsung dapat pekerjaan di Jakarta.
Sejak mendengar tentang DPLK itu, saya langsung tertarik. Mungkin
jalan pikiran saya kurang lazim, ya. Baru saja mulai bekerja, tinggal pun masih
menumpang di kontrakan kakak, tapi sudah memikirkan dana pensiun.
Kebetulan pula kantor saya mentransfer gaji melalui BNI. Namun, saya
tak sempat ikut program DPLK karena hanya setahun bekerja di sana dan pindah
ke kantor lain. Di kantor yang baru, transfer gaji bukan melalui BNI.
Kembali Menjadi Nasabah BNI
Cukup lama saya berpisah dengan BNI. Tahun 2007 saya kembali menetap di
Bandung. Di kawasan Ujungberung tempat saya tinggal, berderet-deret kantor
cabang bank. Sayangnya, tidak ada BNI. Untunglah sekitar tahun 2009 BNI membuka
cabang di Ujungberung.
Saya tidak perlu berpikir lagi untuk kembali menjadi nasabah BNI. Yang
pertama saya buka tentu saja Taplus. Tabungan pensiun? Masih ada dalam daftar
kebutuhan tetapi terpaksa mengalah oleh kebutuhan lain.
Ada dua anak yang harus saya persiapkan masa depannya. Alhamdulillah, BNI
memiliki Tapenas. Saya memilih membuka Tapenas berasuransi lebih dahulu untuk
anak-anak saya. Tapenas ini tak bisa ditarik sewaktu-waktu. Jadi, dana akan lebih aman dan kelak bisa digunakan sesuai rencana. Fasilitas autodebitnya pun berhasil “memaksa” saya berdisiplin mengalokasikan
dana untuk pendidikan anak-anak.
![]() |
Tapenas BNI, membantu merencakan masa depan. |
Tapenas dan Kehebohannya
Saya sekarang bukan lagi pekerja kantoran yang menerima gaji
tetap setiap bulan. Saya pun bukan seorang istri yang mendapat "penghasilan"
rutin dari suami. Saya single parent yang bekerja lepas sebagai penulis
dan editor di beberapa penerbit. Sebagai pekerja lepas, jumlah penghasilan saya
tidak tetap, datangnya pun tidak menentu.
Tapi sekali datang dapatnya besar, kan?
Tidak juga. Sebagai penulis, royalti saya datang dua kali dalam setahun.
Jumlahnya tak sefantastis yang diduga orang awam. Dalam anggapan awam, kalau harga
buku Rp40.000 dan buku dicetak sebanyak
3.000 eksemplar, royalti yang diterima adalah 3.000 x Rp40.000 = Rp120 juta.
Faktanya, royalti saya sebesar 10%
dari harga jual buku, dipotong pajak 15%, dan dihitung dari jumlah buku
yang terjual.
Pada
contoh di atas, kalau buku saya terjual 1.000 eksemplar dalam enam bulan, royalti yang saya terima adalah 1.000 x Rp4.000 = Rp 4.000.000. Setelah
dipotong pajak sebesar 15%, yang saya terima Rp 3,4
juta atau rata-rata hanya Rp566.666 per bulan. Jauh lebih kecil, kan,
dibandingkan upah buruh?
Belum lagi fakta bahwa grafik penjualan buku akan menurun setelah sekian waktu terbit hingga akhirnya satu buku hanya mendatangkan sekitar Rp 100.000 per enam bulan.
Dengan kondisi seperti itu, bukan baru satu-dua kali saya puyeng karena
saldo rekening Taplus sangat minim sedangkan tanggal autodebit semakin dekat.
Kalau diautodebit untuk Tapenas, kebutuhan sehari-hari terancam tak terpenuhi. Anak-anak makan apa?
Ke sekolah gimana? Masa naik sapu terbang? Nanti malah dikira sekolah di Hogwart bareng Harry
Potter.
Kalau sudah begini, saya terpaksa sedikit “nakal”. Caranya, saya menarik uang dari Taplus
sehingga saldo berada di bawah jumlah yang seharusnya diautodebit. Dengan
begitu, BNI tak bisa mendebit saldo Taplus saya untuk Tapenas. Hehehe….
Gagal autodebit pun bukan baru satu kali saya
alami. Berarti perencanaan saya untuk tabungan pendidikan anak-anak pun gagal?
Ah, kata siapa? Alhamdulillah, tetap jalan. Ketika saldo Taplus
sudah mencukupi, BNI akan langsung autodebit untuk Tapenas meskipun
sudah lewat tanggalnya.
Drrrt…!
Notifikasi SMS masuk, mengabarkan ada transferan masuk ke Taplus. Ketika mengecek ke ATM, saldo sudah berkurang sejumlah dana
Tapenas anak-anak. Hehehe… transferannya jadi nggak terasa.
Tak apa, ini demi masa depan.
Dana Pensiun
Meski masih sering terpontang-panting agar dapat rutin menabung di Tapenas, awal tahun 2014 saya memutuskan untuk
menyiapkan tabungan pensiun di BNI. DPLK yang saya ketahui dulu, dikenal dengan nama Tabungan Simponi.
Sebelum membuka Tabungan Simponi, saya lebih dahulu menjelajahi web BNI dan
berkonsultasi dengan seorang teman yang mengerti ilmu keuangan. Dengan begitu,
saya menjadi lebih mantap ketika customer service BNI menjelaskan
tentang berbagai pilihan paket investasi yang ada dalam Tabungan Simponi ini. Intinya,
paket investasi itu untuk mengembangkan dana yang disimpan di Tabungan Simponi.
Kehebohan dengan Tapenas terjadi juga di sini. Bedanya, kalau gagal
autodebit pada tanggal yang ditentukan, Tabungan Simponi ini tidak otomatis mendebit
ketika ada cukup dana di hari berikutnya. Jadi, ketika sudah ada dana, saya
harus menyetor tunai.
Agak repot, sih. Apalagi yang namanya godaan kalau ada dana masuk itu kan…
kebangetan. Mudah-mudahan ke depannya Tabungan Simponi BNI juga bisa melakukan
autodebit ulang.
Hidup Terencana
Ada yang berpendapat, “Nabung sih belakangan aja. Utamakan kepentingan
keluarga sehari-hari. Kalau ada lebihnya baru ditabung. Dengan begitu kita jadi
lebih cermat menentukan pengeluaran.”
Bagi saya justru sebaliknya. Saya
memilih mengikuti saran ahli keuangan bahwa menabung sebaiknya dilakukan di awal
bulan (ketika menerima uang). Tentu saja, sebelumnya telah memperhitungkan jumlah
pengeluaran per bulan. Jangan sampai semua ditabung tapi untuk sehari-hari
kekurangan.
Pekerja lepas seperti saya memang harus lebih sadar diri dan berdisiplin mengalokasikan
penghasilan untuk masa depan diri sendiri dan keluarga. Anda
pekerja lepas juga? Atau tertarik untuk menjadi pekerja lepas yang tak terikat
pada jam kantor? Yuk, segera menyusun rencana. BNI akan membantu kita.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blogging BNI