Ketika Tanah Suci Memanggil


Ketika Tanah Suci Memanggil

Siang itu saya bermaksud pergi ke toko buku. Karena bukan jam sibuk, angkot (angkutan kota) yang saya berhentikan relatif kosong, hanya berisi tiga penumpang.

Saya memilih duduk di depan, di sebelah sopir. Lebih nyaman begini, apalagi perjalanan saya dengan angkot ini akan cukup lama. 

Maklumlah, saya tinggal di ujung timur kota Bandung, sedangkan toko buku yang saya tuju berada di pusat kota.

Ketika angkot berhenti di sebuah traffic light di perempatan jalan, sebuah baliho besar memenuhi pandangan saya. Tawaran untuk berumrah dan berhaji dengan biaya sekian ribu dolar Amerika Serikat. 

Tulisan lain seputar umroh dan haji bisa dibaca di sini:

Gambar Kakbah, berikut jamaah haji yang berpakaian ihram mendominasi baliho itu.

Detik itu, mendadak ada sebuah rasa yang menyesakkan dada. Begitu sesaknya hingga seperti akan membuat dada meledak. Serasa ada selapis tipis kabut di mata.

Lampu lalu lintas menyala hijau dan angkot yang saya tumpangi kembali melaju. Rasa sesak yang tadi begitu hebat, kini berangsur-angsur mereda. Namun, masih menyisakan sebuah keharuan di dada.

Oh, seperti inikah yang dirasakan si Emak dalam sebuah novel dan film yang laris beberapa tahun lalu? Kerinduan pada Tanah Suci. Kerinduan pada Kakbah. Kerinduan untuk melaksanakan ibadah haji, menunaikan rukun Islam yang kelima.

Ibadah Vs Dana

Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bukan hal mudah dan murah bagi sebagian orang, termasuk bagi saya. Namun, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pun bukan hal yang mustahil. 

Pernah saya baca sebuah kisah tentang seorang pengemudi becak dan pedagang kecil yang bisa naik haji karena kedisiplinan mereka dalam keuangan. Mereka rajin menabung sedikit demi sedikit.

Receh demi receh setiap hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga akhirnya bisa membawa mereka ke Tanah Suci.

Ah, tak usahlah jauh-jauh. Kedua orangtua saya berangkat ke Tanah Suci tahun 2000 pun setelah menabung belasan tahun dari gaji mereka sebagai anggota TNI yang tak punya usaha sampingan apa-apa.

Menunaikan ibadah haji memang butuh dana yang tak sedikit. Hal ini semakin mengokohkan prinsip yang saya pegang bahwa umat Islam harus rajin bekerja dan menabung.

Dalam berbagai hadis pun Rasulullah saw., mengingatkan tentang keutamaan bekerja ini.

  • “Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar, lalu membawanya ke pasar untuk dijual dan menggunakan uangnya untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik daripada seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi kadang ditolak.”  (HR. Bukhari dan Muslim).
  • “Sesungguhnya di antara dosa-dosa, ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji. Namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah.” (HR. Ath-Thabrani)
  • “Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat dan puasa).” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Masih banyak lagi hadis tentang bekerja ini. Beribadah memang penting. Namun, bekerja pun penting, apalagi dengan bekerja dapat menunjang kelancaran beribadah.


Langsung Action

Ibu saya memang pernah beberapa kali bertanya tentang rencana saya berhaji. Dulu-dulu, sih, jawaban saya selalu diplomatis. “Ada rencana tapi nggak tau kapan. Duitnya aja belum ada.” 
Terus saja begitu selama bertahun-tahun. Namun, setiap kali ada teman pergi berhaji, saya berusaha titip doa di Tanah Suci.

Sekarang berbeda. Tak lama setelah peristiwa di angkot siang itu, saya membuka tabungan haji.

Jadi, ketika Ibu bertanya, saya bisa menjawab begini, “Insya Allah. Udah buka tabungan haji, kok. Tinggal nyetor per bulan, minimal  seratus ribu. Mudah-mudahan bisa nyetor lebih supaya bisa lebih cepat dapat kursi.”
Saking senengnya mendengar jawaban saya, Ibu memberikan dua lembar uang riyal sisa berhaji dulu. Katanya buat mancing rezeki. Hehe…. 

Maksudnya, buat penyemangat saya. Pas buka dompet, lihat uang riyal, trus jadi semakin giat bekerja supaya semakin dekat langkah ke Tanah Suci.

Pengalaman saya ketika akhirnya bisa ke Tanah Suci saya tulis di sini:

uang riyal arab saudi
Uang 6 riyal pemberian ibu saya.

Tabungan Haji
Tentang tabungan haji ini, mesti ekstra hati-hati. Setiap tahun selalu saja ada berita tentang calon jamaah haji yang tertipu. Uang yang sudah mereka kumpulkan selama puluhan tahun, tahu-tahu digondol oleh maling berkedok penyelenggara tabungan haji atau biro perjalanan haji. 

Duh, sedih sekali rasanya melihat wajah-wajah tua yang kecewa itu.  
Belajar dari pengalaman mereka, lebih baik kita teliti sebelum memilih lembaga yang akan kita percayai untuk mengelola dana haji kita. Setidaknya ada tiga faktor yang harus kita perhatikan.

1. Reputasi.

Bagaimana reputasi lembaga tersebut? Apakah bisa dipercaya? Kita tentu nggak mau, dong, kalau uang yang kita kumpulkan dari hasil peras keringat banting tulang itu ternyata dikelola oleh pihak yang tidak bisa memegang amanah dan tidak bisa dipercaya.
 

2. Prestasi.

Bagaimana prestasi lembaga tersebut? Kalau lembaga keuangan tersebut pernah meraih penghargaan tingkat nasional atau bahkan internasional, tentu menjadi nilai plus.

3. Masa lalu.

Apakah lembaga keuangan tersebut pernah terlibat suatu kasus di masa lalu, misalnya kasus penipuan nasabah atau penggelapan uang? Kalau ya, sebaiknya cari lembaga keuangan yang lain. 

Singkatnya, pilihlah lembaga keuangan yang tepercaya.


Langkah Kecil Menuju Tanah Suci

Ya, saya tahu. Dengan menyetor sedikit demi sedikit seperti yang saya lakukan sekarang, baru bertahun-tahun lagi saya dapat jatah kursi.

Beda dengan kalau saya langsung menyetor sekian puluh juta. Kabar-kabar tentang lamanya daftar tunggu pun sudah saya dengar.

Tak apa. Langkah-langkah saya memang kecil-kecil tetapi yakin sajalah. Lagi pula, lebih baik melangkah kecil-kecil daripada hanya diam di tempat, kan?

Tawakal dan tetap berusaha. Allah yang mengundang, Allah yang akan memudahkan.


Salam,
Triani Retno A
www.trianiretno.com
Penulis Buku, Blogger, Editor

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.