Bagiku Kamu Tak Tergantikan


Penulis serial Genk Kompor

Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang membuatku ingin selalu menyediakan waktu untukmu.

Sahabat: ”Heiii… kamu diminta nulis buat edisi spesial juga, kan? Enaknya kita nulis apa, ya?”

Lalu kita menghabiskan sore itu untuk membahas ide cerita


Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang selalu ingin kubuat tersenyum.

“Sampai kapan di Bukittinggi?”

Sahabat: “Belum tau. Pastinya sampai badan isi dulu dan kuat.”

“Astagaaa… sampai hamil?”

Sahabat: "Hahaha..."

Bisa membuatmu tertawa, sungguh menyenangkan. Terlebih aku tahu saat itu kamu sedang berjuang melawan sakitmu.


Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang bersamamu ingin kuwujudkan mimpi.

Sahabat: “Aku mau pensiun dini. Keluarga nyaranin gitu. Mungkin nanti dagang buku. Kerja sama dengan kamu. Itu mimpi aku.”

Mewek diam-diam. Kamu lagi sakit. Tapi kamu tetap punya mimpi. Mimpi kamu melipatgandakan semangatku.

Nando
Foto: Nando.
Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang membuatku cemas, yang tak ingin kamu kenapa-kenapa.

“Hei, aku lihat di TV ada demo di kantormu. Ya Allah, rame bangeeet. Kamu nggak apa-apa, kan?”

Sahabat: *kalem* “Nggak apa-apa. Udah biasa.”



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang membuatku ingin menulis spesial untukmu….

Sahabat: “Teeraaaaa! Gila lo ya! Ngapain bikin note di bawah cerpen lo kalo gue bawa keripik sanjai? Orang se-Indonesia jadi tau tuh gara-gara kamu!”

Teriakanmu sore itu membuatku hampir menjatuhkan gagang telepon. Dan sore itu kita ketawa-ketawa.



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang menjawab tanpa kepo bertanya.

“MPR itu singkatan dari apa, sih? Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Majelis Perwakilan Rakyat?”

Sahabat: “Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Pertanyaan aneh di malam hari. Tapi kamu jawab tanpa menuduhku iseng, tanpa bertanya kenapa. Kamu kenal aku. Nanti juga aku cerita sendiri kenapa bertanya seperti itu. 

Deadline ketat dan kurang tidur membuatku amnesia sebagian waktu itu. Yang terpikir adalah bertanya pada kamu karena kamu sehari-hari berkantor di sana.



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang denganmu aku ingin membagi bahagia.

“Kaget lho waktu ngitung penghasilanku tahun kemarin buat laporan pajak. Ternyata penghasilanku meningkat PAS sejumlah yang kukeluarkan untuk membiayai ponakanku. Seneng bangeeet”

Sahabat: “Alhamdulillah. Allah Maha Pemberi rezeki. Allah yang akan mencukupi kebutuhan kita.”


Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu, yang aku bisa menangis tanpa perlu jaim.

“Sediiiih… ditikung kawan sendiri. Tadinya ngerumusin bareng-bareng dari awal. Tapi tau-tau dia nyebrang ke tempat lain.” #mewek

Sahabat: “Sebel sih dengernya. Tapi sabar aja. Insya Allah ada ganti yang lebih baik.”



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang membuatku nyaman.

“Aku pake travel nih dari Bandung. Kalo ke tempat yang mau kudatangi itu jauh nggak sih?”

Sahabat: “Aku jemput kamu.”

“Eeeh… aku nggak minta dijemput, lho. Aku naik taksi aja.”

Sahabat: “Nggak apa-apa.”

Nggak apa-apa dari Bekasi meluncur ke Jakarta untuk menjemput orang Bandung yang punya reputasi sering nyasar ini.

Ketika menjemput…. “Buset. Nggak salah nih pool travel? Horor banget tempatnya.”

Memang. Tapi kamu membuatku merasa nyaman



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang membangkitkan semangatku ketika aku jenuh.

“Aku mau berhenti nulis. 20 tahun lebih nulis akhirnya bosen juga.”

Sahabat: “Jangan berhenti. Banyak yang butuh kamu. Abege-abege itu butuh bacaan yang mereka banget tapi berisi dan positif. Itu kan kamu banget.”

 
Nando dan Triani Retno
Jakarta, 2011.


Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang mengingatkan untuk shalat dan banyak berdoa.

“Sedih bangeeet :’( “

Sahabat: “Shalat dulu sana. Banyakin doa. Allah Mahatahu.”



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang tetap di sisiku ketika orang lain berpaling.

Sahabat: “Itu… yang kamu ceritakan di buku itu..kehidupan kamu? Aku nggak nyangka kamu pernah sampai terpuruk banget begitu. Tapi kamu hebat, bisa bangkit lagi.”

Di satu masa, ketika satu demi satu kenalanku menjauh, kamu yang bertahun-tahun hilang justru datang lagi. Mendekat. Menemani aku. Selalu ada untukku



Seperti apa sahabat itu?

Bagiku, sahabat adalah kamu yang selalu ada ketika langitku runtuh.

Sahabat: “Ada apa? Kenapa semua tulisanmu penuh air mata?”

Dan kamu, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, siap kalau aku butuh kamu. Dan kamu, tetap sabar menanggapi ceritaku.

Kamu satu-satunya yang memintaku bertahan demi anak-anak ketika semua tak lagi melihat gunanya bertahan. Belakangan aku baru tahu kenapa. Ah, itu rahasia kita saja.

Sahabat: “Jangan benci sama dia. Gimanapun dia ayah anak-anakmu, kan?”

Kamu tetap sabar ketika ada selentingan usil mengatakan kamulah yang menjadi penyebab badai itu.

Mereka salah. Salah besar. Justru kamu yang menahan langitku agar tak runtuh dan menimpaku sampai hancur. 

Justru kamu yang menemaniku melewati saat-saat berat itu dan menjagaku agar tetap waras. Agar tak melakukan hal yang lebih gila daripada meninju kaca figura foto sampai hancur....

Sahabat: “Memang berat. Tapi jangan nangis. Kamu pasti kuat. Kamu seperti ibuku. Ibuku selalu kuat. Kamu juga pasti bisa.”

Nando, penulis asal Bukittinggi
Foto: Nando.

Delapan belas tahun persahabatan kita. Kamu menghilang ketika aku menikah. Satu setengah tahun menghilang, kamu muncul sebentar sekadar say hi. Hei, kamu dapat nomor ponselku dari mana?

Lalu menghilang lagi. Muncul setahun kemudian untuk mengabarkan kamu sedang kuliah S2 di UI. Lalu kamu menghilang lagi. 

Enam tahun berlalu, baru kamu datang lagi. Dan kamu tak pernah pergi lagi. 

Kita bersenang-senang menulis cerita remaja. Membahas ini itu sambil tertawa-tawa. Sesekali obrolan kita serius. Tentang masalah politik. Tentang kondisi negara kita.

Tentang pilihanmu untuk pindah dari Badan Anggaran Sekretariat Jenderal DPR ke Perpustakaan DPR dan pengaruhnya pada penghasilanmu

Ah, kamu sudah memilih sebenarnya. Kamu hanya butuh sedikit dukungan dariku.


Kamu Pamit....

Obrolan paling serius terjadi pada akhir 2016. Dipicu oleh postingan kamu di grup rahasia kita, Genk Kompor.
Teman-teman GK, aku minta doanya ya agar proses recovery kesehatanku nggak lama seperti ini. Tapi jika memang takdirku sudah dekat, demi Allah aku ikhlas. Hanya yang mengganjal hatiku bagaimana dengan ibuku?

Aku tidak ingin cengeng, saat menuliskan ini aku terisak di balik kubikelku di kantor. Sekali lagi mohon doanya ya. Sekaligus mohon maaf setulusnya jika selama bergaul ada kata dan perbuatan yang tidak berkenan.

Bagiku, kamu bukan sekadar sahabat. Entah apa menyebutnya. Saudara kembar beda ibu beda bapak? Separuh diriku? Kepingan yang melengkapi aku? 

Kamu seperti cermin bagiku karena banyaknya persamaan di antara kita. Dan ini bukan kamu yang kukenal selama 18 tahun.

Aku kejar kamu lewat SMS, WA, inbox FB, dan telepon. Tak diangkat. Sedang menangiskah kamu? Kenapa sakit rasanya hatiku ketika membayangkan kamu menangis?

Lau akhirnya kamu menelepon. Suaramu tak seperti biasa. “Sudah kubalas di WA. Tapi jangan cerita sama siapa-siapa.”

Nando penulis kumcer Beautiful Boy
Foto: Nando.

Kamu tahu? Aku menangis membaca ceritamu. Esok dan esoknya aku pun menangis setiap kali mendapat kabar darimu. 

Sedang opname, transfusi darah lagi, tak sanggup membaca lebih satu paragraf, transfusi darah sampai tiga botol, pusing, lelah, tak bisa duduk, tak enak makan, menjadi seperti bayi lagi yang harus selalu dibantu ibu…. 

“Penyakitmu nyebar ke mana-mana?”

Sahabat: “Dokter nggak bilang. Tapi aku dikasih obat macam-macam….”

Andai bisa kulipat jarak antara Bandung dan Bukittinggi…. Tapi tak bisa. Aku hanya bisa menangis di sini, ribuan kilometer dari tempatmu. Hanya bisa menyapamu di WA.

“Halooo.... Apa kabar hari ini? Semangat sembuh, yaaa.” *emot buah-buahan, emot es krim, emot bunga, emot senyum*

Meneleponmu? Aku tak sanggup. Bagaimana kalau aku menangis? Tidakkah itu membuat kamu semakin lemah? Aku kuat, kan? Aku kuat? :'(

  

Sabtu 25 Maret 2017

Kamu datang, hilang, datang, hilang dalam 18 tahun persahabatan kita. Kamu datang lagi tahun 2008 dan tak pernah pergi lagi. Tapi akhirnya kamu harus pergi. 

Allah menyayangimu lebih, lebih, lebih besar daripada rasa sayang aku ke kamu, daripada rasa sayang teman-teman dan keluargamu ke kamu. 

Pukul 20.15 di hari Sabtu itu, Allah menghapus penyakit yang bertahun-tahun bersamamu. Yang menyebar ke seluruh tubuhmu dan membuatmu drop empat bulan terakhir ini. Allah mengutus Izrail untuk menjemputmu.

Kabar itu membuatku menangis sepanjang malam. Shalat, lalu menangis lagi. Berdoa sambil menangis. 

Pukul dua dini hari baru aku tertidur dengan pipi basah air mata. Aku melihat kamu di sebuah ruangan. Kamu tersenyum. Lalu hilang. Kali ini kamu benar-benar pergi, ya? Nggak akan kembali lagi? 

(Tak ada firasat. Kecuali mungkin...rasa kantuk luar biasa yang kerap datang di saat-saat tak wajar selama seminggu sebelum kepergianmu, yang membuatku tertidur tanpa melihat tempat...)

Minggu 26 Maret menjadi hari yang sangat kelabu bagiku. Air mata seperti tak bisa berhenti mengalir. Begitu saja tumpah ketika melihat fotomu. Ketika melihat jasadmu terbujur berselimut kain batik. Ketika melihat jasadmu diusung ke masjid untuk dishalatkan.

Itu kamu? Kamu sudah benar-benar pergi, ya?

 
Nando meninggal
Di rumah duka (Foto: Erdison Nimli)
 
Nando meninggal 25 Maret 2017
Menuju masjid untuk dishalatkan (Foto: Erdison Nimli).


Senin, 27 Maret 2017

Aku menangis lagi ketika melihat banjir duka cita di linimasa FB-ku. Begitu banyak yang sayang sama kamu. 

Aku menangis lagi ketika seorang teman mengirimkan foto pemakamanmu. Ketika jasadmu diturunkan ke liang lahat.

Kamu sudah benar-benar pergi, ya?
Allah Kariiim. Ar Rahman Ar Rahiiim…. :'(

Nando dimakamkan di Bukittinggi
Foto: Santi Nugroho


Seperti apa sahabat itu?

Sahabat itu kamu. Tak semua tentangmu, tentang kita, bisa kutulis di ruang publik ini. 

Tulisan ini sekadar pengingat. Tulisan ini sekadar katarsis untukku keluar dari duka mendalam.

Tulisan ini sekadar (mungkin) mewakili rasa kehilangan teman-teman yang menyayangimu, teman-teman yang pernah merasakan kebaikan hatimu.

Tulisan ini sekadar menjawab pertanyaan sebagian teman tentang kita, tentang aku dan kamu. Jawaban yang aku tahu tak akan memuaskan. Tapi biarlah.

Cerita lain tentang kita, tentang aku dan kamu, biar kusimpan rapat saja di sudut hati. Akan kukunjungi jika aku merindukan kamu.

“Kalau nanti kamu tak lagi bisa mendengarku, tak bisa lagi melihatku, tak bisa lagi berkata-kata denganku, lihat dalam kenanganmu tentang aku. Rasakan di hatimu. Aku akan tetap di sana selamanya.” (kalimat perpisahan yang diucapkan Eizel pada Keala dalam novel Limit, terbit 2014).

Kamu yang memilih nama Eizel untuk sebuah naskah yang kutulis sebagai katarsis tahun 2010. 

“Kalau kamu masuk ke novelku, kamu mau jadi tokoh bernama apa?”
Sahabat: “Eizel.”
“Kenapa Eizel?”
Sahabat: “Nggak tau. Suka aja.”

Naskah setebal 150 halaman itu sudah lama jadi tapi kuputuskan untuk tak menerbitkannya. 

Nama Eizel kupakai untuk novel lain yang kutulis tiga tahun kemudian. Limit. Eizel nama yang bagus. Aku suka. Alasan yang sama simpelnya seperti kamu.

Dan hari ini, aku seperti menjadi Keala yang mencari Eizel dalam kenangannya.

Sahabat: “Hidup kita seperti cerpen-cerpen yang kita tulis. Bedanya, ini nyata dan kita harus benar-benar menjalaninya.”

Itu kata kamu tujuh tahun yang lalu. Kamu benar. Ini nyata dan aku harus menjalaninya. Sekarang tanpa kamu. 

Semoga ampunan, rahmat, dan kasih sayang Allah selalu bersamamu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.


In memoriam,

Nando, penulis asal Bukittinggi
Nando (17 Juli 1970 – 25 Maret 2017).



Aku,
yang menyimpanmu dalam kenangan.


Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.