Membangun Budaya Baca


membangun budaya baca

Mary Leonhardt, sebagaimana dikutip oleh Hernowo (Kaifa, 2003: 43) menyebutkan bahwa sekolah dasar merupakan waktu yang menentukan bagi anak-anak untuk mengembangkan suatu kecintaan dan kebiasaan membaca.

Menarik digarisbawahi, Leonhardt menyebutkan kebiasaan membaca dan bukan kebisaan membaca. 

Di masyarakat kita, banyak orangtua yang bangga jika anak bisa membaca pada usia dini. TK pun dituntut untuk menjadikan anak-anak lancar membaca.

Ironisnya, setelah anak bisa membaca banyak orangtua yang enggan menyediakan buku-buku bacaan. Mereka lebih suka membelikan pakaian yang sedang trendi atau bahkan gawai (gadget). Anak menjadi sekadar bisa membaca, belum terbiasa membaca, apalagi memiliki budaya membaca.

Tentang membaca untuk anak-anak ini, ada tulisan saya tentang membaca nyaring (read aloud). Bisa dibaca di Membaca Dongeng Bersama Let's Read.   

Tak heran jika berbagai survei menunjukkan rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Pada tahun 2016, studi Most Literated Nation in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menyatakan Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Berada di antara Thailand (peringkat 59) dan Bostwana (peringkat 61).

Sebelumnya, pada tahun 2012 UNESCO menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Ini berarti hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang berminat membaca.


Upaya Membangun Budaya Baca

Membangun budaya baca pada anak membutuhkan waktu panjang, tidak cukup satu-dua minggu. Ada tahap-tahap yang harus ditempuh secara konsisten dan berkesinambungan.

Setelah anak bisa membaca, ia perlu dikondisikan agar memiliki minat baca. Sangat banyak kejadian, anak bisa membaca tapi tak berminat membaca.

Minat baca itu harus terus dijaga agar tetap menyala, agar berkembang menjadi sebuah kegemaran. Gemar membaca. 



Jika anak sudah gemar membaca, ia akan merasa ada yang kurang jika tidak membaca. Ia akan mencari-cari buku dan bahan bacaan lainnya. Membaca telah menjadi bagian dari hidupnya. Pada tahap inilah anak telah memiliki budaya baca. 

Berikut ini upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan minat baca anak-anak. Dengan harapan, kelak mereka akan memiliki budaya baca yang kuat.

Pameran buku anak
Melalui pameran, anak-anak didekatkan dengan buku-buku bacaan. (Foto: www.trianiretno.com)

1. Menyediakan buku bacaan yang sesuai.

Hal paling utama yang harus tersedia adalah buku-buku bacaan. Bukan sekadar buku bacaan, melainkan buku-buku bacaan yang sesuai dengan minat dan usia anak-anak.

Perpustakaan sekolah bukanlah tempat menumpuk buku. Bukan pula tempat “membuang” buku yang sudah tidak dibutuhkan. Idealnya, perpustakaan tidak sekadar mengejar banyaknya jumlah buku. Kesesuaian isi buku dengan kebutuhan pengguna pun sangat perlu diperhatikan.

Jeanne S. Chall, seperti dikutip oleh Muktiono (2003), membagi kegiatan membaca dalam enam kelompok berdasarkan usia dan pengalaman pendidikan.
  • Tingkat 0: pre-reading dan pseudo-reading, 6 tahun ke bawah.
  • Tingkat 1: membaca awal dan decoding, 6-7 tahun.
  • Tingkat 2: konfirmasi dan kelancaran, 7-8 tahun.
  • Tingkat 3: membaca untuk belajar, 9-14 tahun.
  • Tingkat 4: kerumitan dan kompleksitas, 14-17 tahun.
  • Tingkat 5: konstruksi dan rekonstruksi, 18 tahun ke atas.
Jika melihat penggolongan tersebut, anak-anak usia SD berada di tingkat 1, 2, dan 3.

Masih menurut Chall, anak-anak di tingkat 1 menyukai buku yang dipenuhi gambar dan berwarna-warni. Buku cerita berseri dan majalah bergambar bisa digunakan untuk menumbuhkan kecintaan mereka akan membaca.

Anak-anak di tingkat 2 sudah menguasai lebih banyak kosa kata. Mereka sudah bisa diberi buku bacaan dengan tingkat kesulitan bahasa di atas kemampuan mereka. 

Sementara itu, anak-anak di tingkat 3 sudah bisa membaca buku referensi, ensiklopedia, komik, surat kabar dan majalah.

Praktik di lapangan memang tak selalu seperti dalam teori dari periset asal Amerika Serikat tersebut. Seorang narasumber, guru di sebuah sekolah dasar untuk rakyat kurang mampu di Jember, mengatakan bahwa banyak muridnya di kelas 5 (usia 11-12 tahun) yang masih belum lancar membaca dalam bahasa Indonesia.

Untuk anak-anak seperti itu, buku yang dilengkapi banyak gambar dan berwarna akan lebih mengena.

Tak perlu apriori pada komik dan menganggapnya sebagai bacaan tak berkualitas. Banyak komik terbit tahun 2000-an yang memiliki konten mendidik. Komik ibadah, komik cerita klasik, sampai komik sains dan matematika pun ada.

Gerakan Literasi Sekolah
Gerakan Literasi Sekolah. (Foto: www.trianiretno.com)

2. Suasana membaca yang menyenangkan.

Agar anak senang membaca, bangunlah suasana membaca yang menyenangkan. 

Mengekang anak dengan berbagai keharusan dan larangan bukan hal bijaksana. Anak yang minat bacanya saja belum ada akan semakin menjauh jika suasananya tidak menyenangkan. 

Nyaman di sini bukan perkara ruangan harus besar, wangi, dan berpendingin udara. Nyaman di sini lebih pada perlakuan guru dan pustakawan pada anak-anak. 

Sambutlah anak-anak itu dengan hangat, tersenyum cerah pada mereka, dan pandanglah mereka sebagai pembaca cilik yang luar biasa. Bukan sebagai serombongan anak yang berisik dan akan mengacak-acak koleksi buku di perpustakaan.

Takut buku-buku yang ada di perpustakaan menjadi kusut, kotor, atau robek? Itu bukan alasan untuk mengekang anak dengan banyak peraturan yang akhirnya justru membuat mereka enggan membaca.

Tugas guru dan pustakawanlah untuk memberikan pemahaman pada anak-anak tentang bagaimana memperlakukan buku seharusnya. Mata tak perlu melotot. Suara pun tak perlu meninggi. Bukankah kita ingin anak-anak mencintai kegiatan membaca?

3. Teladan dari guru.

Berilah teladan pada anak-anak. Tunjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan. 

Meski masih kecil, anak-anak bisa menilai. Mereka akan kurang respek pada guru yang galak menyuruh mereka membaca buku tetapi sang guru malah asyik dengan telepon selulernya. Anak-anak disuruh banyak membaca supaya pintar, tetapi sang guru malah menghabiskan waktu dengan mengobrol.

Sebaliknya, anak-anak akan respek pada guru yang tidak hanya bisa menyuruh tetapi juga melakukannya bersama mereka. Bapak dan ibu guru yang senang membaca akan menjadi role model dan oase bagi anak-anak.


4. Aktivitas pendukung.

Banyak aktivitas pendukung yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan minat dan budaya baca anak-anak. Di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Mendongeng.

Dalam kegiatan mendongeng, anak-anak mendengar dan menyimak aksi pendongeng. Mendongeng bisa dilakukan di perpustakaan (agar anak-anak terbiasa dengan keberadaan buku-buku) atau di ruang kelas. Jika anak-anak tertarik, pancing mereka untuk membaca buku-buku dongeng yang ada.

Membangun budaya baca
Mang Idon mendongeng di panggung Pesta Buku Bandung, Maret 2017, dengan melibatkan anak-anak SD. (Foto: www.trianiretno.com)

b. Membacakan buku (read-aloud).

Read-aloud ini bukan hanya untuk anak-anak yang belum bisa atau belum lancar membaca. Anak-anak yang sudah lancar membaca pun masih senang dibacakan buku. 

Tujuan read-aloud bukan untuk mengajarkan anak bisa membaca, melainkan menumbuhkan kecintaan pada buku dan aktivitas membaca.

Jim Trelease (Hikmah, 2008) mengatakan bahwa buku yang dibaca dalam aktivitas read-aloud ini bisa berupa buku cerita bergambar, bisa pula buku fiksi dan nonfiksi yang memiliki bab-bab. 

Agar lebih menarik, mainkan intonasi suara dan ekspresi wajah. Libatkan anak-anak. Pancing mereka untuk berpendapat tentang cerita yang sedang dibaca. Bisa juga menggunakan Storytel untuk mendapatkan pengalaman membaca buku yang berbeda dan menyenangkan.



Budaya baca di Indonesia
Kegiatan story telling di Gramedia Festival Citylink. (Foto: Hilman Rahmadi)

c. Menceritakan kembali (re-telling).

Jika anak-anak sudah selesai membaca buku, minta mereka untuk menceritakan kembali apa yang mereka baca. Tidak ada benar atau salah di sini.

Biarkan anak-anak menceritakan kembali dengan bahasa mereka sesuai dengan pemahaman mereka atas buku yang dibaca. Ajukan satu-dua pertanyaan ringan, seperti siapa tokoh yang paling disukai dalam cerita itu atau mengapa menyukai tokoh A. Berikan apresiasi karena mereka telah membaca buku.

d. Menulis.

Ajak anak-anak untuk menulis. Bisa menulis cerita atau membuat tinjauan sederhana tentang buku yang mereka baca. Ingatkan mereka untuk menulis dengan bahasa mereka sendiri, bukan menyalin tulisan di buku

e. Menggambar.

Anak-anak biasanya senang menggambar. Ajak mereka ke perpustakaan, lalu biarkan mereka menggambar bebas. Dalam memori mereka akan terekam kenangan tentang betapa menyenangkannya suasana di perpustakaan

f. Melakukan eksperimen sederhana.

Sekarang ada banyak buku sains sederhana untuk anak-anak. Bahasanya mudah dipahami, lengkap dengan ilustrasi yang menarik dan penuh warna.

Lakukan satu-dua percobaan bersama anak-anak. Beritahu mereka bahwa percobaan itu ada di buku (tunjukkan buku tersebut) dan mereka boleh membacanya sendiri.

g. Berkunjung ke acara-acara literasi.

Berbagai acara literasi bisa dikunjungi secara gratis. Misalnya pameran buku,, launching buku, dan jumpa pengarang. Di kota Bandung, misalnya, Penerbit Mizan, Penerbit Sygma, dan Toko Buku Gramedia rutin mengadakan acara wisata buku secara gratis.


Wisata buku
Murid-murid SD berkunjung ke penerbit dalam wisata buku. (Foto: Dokumentasi Sygma)

5. Libatkan orangtua.

Keterlibatan orangtua murid pun penting dalam membangun budaya baca. Dalam pertemuan-pertemuan dengan orangtua murid, sosialisasikanlah tentang pentingnya budaya membaca. Sampaikan pula upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak sekolah bersama anak-anak.

Kerja sama antara sekolah dan orangtua ini penting. Jangan sampai anak merasa bingung karena di sekolah didorong untuk senang membaca tetapi di rumah malah dimarahi orangtua karena membaca buku.

Membangun budaya baca memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, tidak ada yang tidak mungkin jika sungguh-sungguh berusaha.

Referensi

Hernowo. 2003. Andai Buku Itu Sepotong Pizza. Bandung: Kaifa.

Muktiono, Joko D. 2003. Aku Cinta Buku: Menumbuhkan Minat Baca Pada Anak. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Trelease, Jim. 2008. Read-Aloud Handbook: Mencerdaskan Anak dengan Membacakan Cerita Sejak Dini. Penerjemah Arfan Achyar. Bandung: Hikmah.

Kompas.com. 29 Agustus 2016. “Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia”. http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.orang.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia. Diunduh tanggal 12 Oktober 2017.

Koran Republika. 15 Desember 2014. “Literasi Indonesia Sangat Rendah”. http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/12/15/ngm3g840-literasi-indonesia-sangat-rendah. Diunduh tanggal 12 Oktober 2017.


Salam,


Triani Retno A
www.trianiretno.com

Penulis Buku Indonesia

2 komentar

  1. Ulasan yang bagus tentang budaya membaca. Terimakasih sudah berbagi :)

    BalasHapus
  2. Mengenalkan buku sedari bayi, alhamdulillah anak-anak kini gemar membaca. Kalau sudah membaca, nggak mau diganggu. Bahkan makan pun harus sambil ngadep buku.

    Dulu sering dinyinyiri karena anak masih bayi kok sudah dibelikan buku. Nggak sayang tuh duitnya? Mana harga bukunya mahal pula. Saya senyumin aja. Sekarang yang suka nyinyir minta resep, gimana supaya anak-anaknya mau membaca. Karena anaknya tuh susah sekali kalau disuruh belajar, apalagi baca buku pelajaran, baca komik aja ogah. Saya senyumin aja, terus saya bilang " tanya sama anak saya resepnya, dia tuh yang lebih tahu karena dah pengalaman"

    BalasHapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.