Indigo atau kemampuan sixth sense sering dianggap sebagai sebuah anugerah, sekaligus bencana. Bagi yang tak tahan dengan kemampuan ini, merasakan hal-hal aneh yang dialami dalam kehidupan justru membuat hati was-was. Apalagi bila mendapatkan penglihatan bisa melihat makhluk tak kasat mata, merasakan aura yang berbeda, dan mencium aroma anyir. Beragam kejadian beraroma mistis pun dirasakan oleh tokoh narator yaitu ‘aku’ dalam kumcer ini.
Cerpen pertama berjudul “Dilarang Memotret di sini”, dikisahkan Fayya dan teman sekelasnya mengunjungi museum dan mengalami kejadian aneh. Di museum itu jelas-jelas terpasang peraturan “Dilarang Memotret di Dalam Museum”. Namun, Kikan memaksa untuk berfoto. Fayya juga merekam suara saat pemandu tur menjelaskan. Dan tahukah kamu? Foto-foto di ponsel Kikan dan rekaman di ponselnya membuktikan bahwa larangan itu bukan sekadar larangan. Apa yang terjadi di museum sebenarnya?
Cerpen lainnya berjudul Kafe Biru
Langit. Niki berencana membuat pesta ulang tahun keempat belas di Kafe Biru
Laut. Kafe yang terkenal dengan pasta dan esnya yang sedap itu dipesan khusus
untuk perayaan ulang tahun. Semua teman Ren suka makan di sana. Hanya Ren yang
tak pernah, padahal pasta adalah makanan kesukaannya. Bukannya ia tak punya
uang untuk makan di sana. Bukan. Tapi karena ada hal lain yang membuat ia tak
berani menginjakkan kaki di sana. (Cerpen Kafe Biru Laut hlm. 75-91)
Cerpen terakhir yang berjudul CERMIN
merupakan pamungkas dari buku ini. Berkisah tentang Diandra yang mendengar lagu
‘Fur Ellise’ mengalun. Ia pun bisa melihat sosok Brenda di sebuah cermin tua di
sebuah rumah tua yang akan dijual pada bundanya. Hantu bernama Brenda itu
membawa jiwa Diandra melihat suasana yang berbeda, dua anak kecil berlarian,
mobil tua yang entah bermerk apa, seorang gadis keturunan Eropa yang ternyata
meninggal disiksa tentara Nippon. Diandra dilema saat mendapat pesan yang dititipkan
oleh Brenda. Dapatkah ia mewujudkan janji itu pada Brenda? (Cerpen Cermin hlm. 108-124)
Novel komik karya anak negeri
bercitarasa lokalitas ini menggunakan latar kota Bandung lengkap dengan budayanya,
seperti pelafalan huruf ‘F’ yang menjadi ‘P’, kata ‘eu’ yang membuat lidah para
perantau sulit untuk mengejanya.
“Payya fayah, ah!” ledek Mita, sohib Kikan.
“Hus! Fayya payah!” ralat Kikan.
Mita bukan satu-satunya yang sering terpeleset lidah
memanggil namaku ‘Payya’ dan bukan ‘Fayya’. Biasalah, lidah Sunda, kan, ciri khasnya
memang gitu. ‘P’ jadi ‘f’, ‘f’ jadi ‘p’. Aduh, pusing. Tapi nggak apa-apa, deh.
Yang penting aku nggak dipanggil ‘pepaya’ sajalah! Hihihi…
(Cerpen Dilarang Memotret Di Sini hlm. 5)
Ada empat cerpen lainnya yang bisa
dinikmati di buku ini yaitu Promo, Sang Maestro, Pelangi Tanpa Ungu dan Kitty. Noomic
atau novel comic memang bukan hal yang baru. Namun baru-baru ini, genre ini
makin diminati oleh penerbit, termasuk oleh Penerbit Anak Kita yang membuka
lini khusus Noomic. Segmen pembacanya pun beragam dari anak remaja yang berusia
di atas 13 tahun, para pecinta komik, buku thriller maupun horor.
Suspense yang disajikan penulis meramu
jalinan kata menjadi kisah misterius dan membius pembaca hingga rasa penasaran
tersibak. Buku ini bisa dilahap pembaca dalam sekali duduk di saat senggang lho.
Kamu berminat membacanya? ;)
***
Link Asal
Buku saya ini diresensi oleh Ila Rizky di blog Resensi Kiky. Saya kopas di sini sebagai dokumentasi
pribadi bagi saya.
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
[Buku Saya Diresensi] CERMIN: Aku Melihatmu, Apa Kau Melihatku?
4/
5
Oleh
Triani Retno A
Terima kasih sudah berkunjung. Mohon maaf, komentar dengan link hidup dan broken link akan saya hapus :)