Lomba Menulis Abal-Abal


lomba menulis abal-abal

Belakangan ini dunia penerbitan buku (dan media cetak lainnya) agak lesu, Namun, lomba menulis masih marak.

Lomba menulis di media cetak masih ada. Lomba menulis yang diadakan oleh instansi pemerintah pun tak sedikit. Begitu juga yang diadakan oleh perusahaan-perusahaan. Bentuknya bermacam-macam. Dari lomba menulis cerpen, artikel, esai, hingga blog.

Peminatnya pun tak sedikit karena memang banyak keuntungan ikut lomba menulis. Sayangnya, ada saja lomba menulis abal-abal. Berikut ini beberapa ciri lomba menulis abal-abal yang perlu diwaspadai.


Harus Membayar

Tak sedikit lomba menulis yang mencantumkan biaya pendaftaran. Besarnya antara Rp 10.000 hingga Rp 100.000 per naskah. Selanjutnya, bukti transfer harus dikirim kepada penyelenggara.

Ada yang menyebut biaya ini sebagai biaya administratif, ada pula yang terang-terangan mengatakan bahwa hadiah lomba akan diambil dari biaya pendaftaran tersebut.

Eloknya, penyelenggara lomba sudah memiliki anggaran untuk hadiah bagi pemenang. Bisa dari kocek penyelenggara sendiri, bisa dari sponsor. Yang jelas bukan dari peserta.

Aroma masalah semakin tercium ketika dalam syarat dan ketentuan lomba tertulis: "Deadline akan diumumkan jika peserta sudah mencapai 400 orang."

Pertanyaannya: bagaimana jika pendaftar tak mencapai 400 orang setelah berbulan-bulan? Hanya 399 orang atau bahkan hanya 50 orang? Apakah uang pendaftaran akan dikembalikan? Bagaimana nasib naskah yang sudah dikirim oleh peserta?

Hai Penulis, yakiiin rela uangmu lenyap begitu saja? Yakiiin ikhlas naskahmu jatuh ke tangan yang tidak jelas?

Bukan satu kali kejadian penyelenggara lomba menghilang. Akun media sosialnya tak aktif lagi, nomor ponsel tak aktif lagi. Bisa saja si penyelenggara hanya menginginkan uang tapi bisa juga sekaligus mengincar naskah. 

Maksudnya … mengincar naskah? Yeah, setelah melakukan sedikit perubahan, naskah yang kita tulis dengan susah payah itu akan diterbitkannya dengan namanya sendiri. Tentu, bukan nama yang digunakannya ketika mengadakan lomba.



Penyelenggara Tidak Jelas

Hindari lomba yang tidak jelas siapa penyelenggaranya. Naskahmu rawan hilang. Ketika membaca informasi tentang lomba menulis, perhatikan hal-hal berikut ini.

1. Nama penyelenggara.

Pastikan nama penyelenggara itu kredibel dan tidak palsu. Kalau penerbit, cari tahu buku apa saja yang diterbitkan. 

Kalau nama penyelenggara sudah meyakinkan tetapi ada persyaratan yang meragukan, coba cari info lebih jauh. Misalnya bertanya pada teman yang menurut kita lebih paham masalah ini. 

Jika harus membayar, tak ada salahnya mengecek nomor rekening yang diberikan. Bisa dicek secara online, kok. Nanti akan ketahuan nomor rekening itu lurus-lurus saja atau pernah bermasalah.

Lomba Menulis Abal-Abal
Waspadai lomba menulis abal-abal. (Foto: Shutterstock)

2. Alamat penyelenggara.

Cari tahu alamatnya di dunia nyata. Jangan seperti Ayu Ting Ting yang menjadi korban alamat palsu. 


3.  Nomor telepon penyelenggara.

Waspada pada penyelenggara lomba yang hanya mencantumkan nomor ponsel. Siapa pun tahu betapa murahnya harga SIM Card sekarang ini. Berganti nomor ponsel sama mudahnya dengan berganti sandal jepit.

Kalau di ponselmu ada aplikasi pelacak seperti True Caller, coba aja cek nomor ponsel yang tercantum itu.

K

4. Email dan web/blog.

Kalau lomba menulis kecil-kecilan yang diadakan oleh individu (misalnya penulis buku dalam rangka promo bukunya sendiri), biasanya memang pakai email gratisan seperti gmail.com dan yahoo.com. Blog pun banyak yang pakai gratisan seperti blogspot.com dan wordpress.com. 

Nggak masalah kalau yang begini. Syarat lombanya juga nggak ribet. Pesertanya pun kebanyakan teman-teman dan para pembaca buku yang sudah tahu siapa dia.

Lain halnya kalau penyelenggara lomba mengaku sebagai penerbit atau perusahaan besar. Aneh saja kalau perusahaan atau penerbit besar memakai domain gratisan. Blog pribadi saya saja pakai TLD (top level domain) yang berbayar. Masa perusahaan besar pakai yang gratisan? 


5. Fanspage dan media sosial.

Kalau perlu, telusuri postingan lama di fanspage penyelenggara atau akun social media yang lain. Waspada saja. Jangan-jangan itu semula fanspage entah apa yang setelah likers-nya banyak, dibeli oleh si penyelenggara lomba. 

Beberapa hari lalu saya melihat ada sebuah lomba menulis yang membawa-bawa nama Pink Berry Club. Langsung terasa ada kejanggalan dalam informasi lomba ini.

  1. Harus membayar biaya registrasi.
  2. Fanspage FB yang harus di-like bukan fanspage resmi PBC.
  3. Harus share info ke teman.
  4. Tema romance. PBC Mizan tidak menerima naskah romance. Bisa dilihat pada persyaratan pengiriman naskah yang ada di buku-buku PBC.
  5. Tidak ada batas minimal dan maksimal halaman naskah.
  6. Penyelenggara menyebutkan ini sebagai event besar.

Pihak Penerbit Mizan sebagai penerbit seri Pink Berry Club (PBC) membantah mengadakan lomba tersebut. Semua lomba menulis yang diadakan oleh Mizan adalah gratis. 

Adapun event besar yang diadakan oleh Mizan hanya dua: Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI) dan Akademi Remaja Kreatif Indonesia (ARKI).

 
Haidar Bagir
Klarifikasi dari Haidar Bagir, Direktur Utama Kelompok Mizan.


Lomba Menulis
Penjelasan dari Hamzah Reevi, Communication & Marketing Mizan Publishing House


Jadi, siapa penyelenggara lomba tersebut dan apa motifnya?


Penyelenggara Tidak Profesional

“Kak, ini lomba menulis artikel, ya? Boleh nggak saya tulisnya berupa cerpen?”

“Oh, boleh. Sama saja, kok, mau cerpen atau artikel.” 

Eh, kok bisa? Kan di persyaratan lomba jelas-jelas tertulis Lomba Menulis Artikel. Artikel dan cerpen itu dua jenis tulisan yang sangat berbeda, lho.

Kalau penyelenggara lomba menulis tersebut tidak tahu perbedaan cerpen dan artikel, tidak tahu perbedaan esai dan resensi, lebih baik abaikan saja lomba itu.


Persyaratan Berubah-Ubah

Waspadai juga jika penyelenggara lomba plin-plan dengan persyaratannya sendiri. 

Misalnya, di persyaratan tertulis bahwa yang boleh mengikuti lomba adalah peserta yang tinggal di daerah tertentu saja (misalnya hanya yang tinggal di Jakarta) dan dibuktikan dengan scan KTP atau kartu pelajar. 

Lalu ada yang bertanya, “Kak, aku tinggal di Semarang. Tapi aku lahir di Jakarta. Baru pindah ke Semarang tiga tahun yang lalu. Boleh ikut nggak, Kak?”

Saya pribadi lebih respek jika penyelenggara lomba tegas menjawab, “Maaf, tidak bisa. Harus yang saat ini berdomisili di Jakarta.” Saya justru akan merasa ragu-ragu jika jawabannya berbunyi, “Oh, boleh kok. Kami tunggu ya naskahmu.”

Kok boleeeh? Kan di persyaratan awal harus tinggal di Jakarta dan dibuktikan dengan scan KTP atau kartu pelajar. 


Saya Kan Pemula

Oh, please. Jangan beralasan “saya kan penulis pemula” lalu membiarkan diri terjerumus ke dalam lomba menulis abal-abal.

Saya beberapa kali membaca komentar putus asa penulis wanna be gara-gara tertipu lomba menulis abal-abal. Semangat menulis yang semula menggebu langsung kempis seperti balon mendarat di punggung landak.

Semangat itu harus dijaga. Dijaga supaya tidak kempis. Dijaga supaya tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan pribadi.

Tetap teliti dan semangat menulis, ya. Happy writing. :)


Salam, 

Triani Retno A

www.trianiretno.com
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.