Buku Anak Pilihan Anak-Anak


Buku bacaan anak yang sesuai perkembangan anak


Saya pernah bertanya pada anak sulung saya, “Kak, perpustakaan di sekolah Kakak gimana?”

Si Kakak yang ketika itu masih SD menjawab, “Yaaah… gitu deh, Mi.”

“Gitu gimana?” tanya saya penasaran.

Wajah si Kakak terlihat tak bersemangat. “Ngebosenin banget. Isinya buku pakeeet melulu. Jadi males mau ke perpustakaan.”

Saya mengangkat alis. Sayangnya tak bisa menggerak-gerakkan alis naik-turun seperti alis Sule dalam sebuah iklan kartu ponsel.  “Masa sih cuma buku paket? Nggak ada buku cerita?”

“Buku cerita sih ada, Mi, tapi dikiiit! Banyakan juga buku di rumah kita. Udah gitu ceritanya juga nggak asik! Gambarnya apalagi.”

Pernyataan si Kakak membuat saya merasa miris. Koleksi buku di perpustakaan sekolah malah membuatnya kehilangan minat untuk berkunjung ke perpustakaan.

Saya berkeyakinan bahwa salah satu alasan kenapa anak tidak suka membaca adalah karena buku yang tersedia tidak sesuai dengan minat anak. 

Masih bagus kalau di rumah banyak buku bacaan, buku anak pilihan anak-anak sendiri. Kalau tidak ada?

Setelah obrolan itu, saya berpikir-pikir. Buku seperti apa yang disukai oleh anak-anak? Saya perhatikan buku-buku koleksi kami di rumah, terutama koleksi kedua anak saya. 

Buku-buku si Kakak kebanyakan berupa novel anak-anak (karya penulis anak dan penulis dewasa), buku pengetahuan umum (seperti 100 hal yang ter….), dan buku teka-teki. Tema novel-novelnya pun beragam. Dari novel-novel persahabatan, hobi, hingga misteri. 

Buku-buku si Adik kebanyakan lungsuran dari kakaknya, tapi ada juga buku pilihannya sendiri.

Tahap Menyukai Buku

Pada tahap awal, anak-anak menyukai buku-buku yang bergambar dan berwarna-warni. Komposisi gambar lebih banyak daripada tulisan. Huruf-hurufnya pun berukuran besar dengan jarak spasi yang agak renggang. 

Pada tahap selanjutnya barulah beralih ke buku-buku yang lebih banyak tulisannya.

Selama ini saya menerapkan asas “anak-anak yang memilih”. Jadi, ketika ke toko buku, saya biarkan mereka mencari sendiri buku yang mereka inginkan, buku yang sesuai dengan minat mereka. 

Setelah mereka memilih, barulah saya menilai. Cocokkah isi buku itu dengan mereka? Apakah itu buku yang bergizi buat mereka?

Bukan baru satu kali anak-anak memilih buku hanya karena tertarik pada gambarnya. Padahal, bisa jadi sebenarnya mereka tak tertarik pada ceritanya atau umur mereka belum cocok untuk membaca buku itu. 

Jika buku pilihan mereka sudah lolos sensor saya dan harganya sesuai, barulah buku itu dibawa ke  kasir.

Buku bacaan anak yang bagus.
Beri kesempatan pada anak untuk memilih buku cerita yang ia minati.

Buku Laris

Dalam berita yang dilansir IKAPI disebutkan bahwa sepanjang tahun 2013 ada 33.199.557 eksemplar buku yang terjual di Indonesia. 

Buku yang paling laris adalah buku anak, yaitu sebanyak 23% dari jumlah eksemplar terjual. 

Adapun 77% lainnya adalah buku fiksi dan sastra (13%), buku agama (13%), buku pendidikan/pelajaran (13%), referensi dan kamus (9%), dan buku kategori lain sebesar 31%.

Secara kuantitas, jumlah penjualan buku anak-anak memang memimpin pasar. Bagaimana dengan isinya?

Sepengamatan saya, tema ceritanya semakin bervariasi. Ilustrasi yang umumnya menyertai buku-buku itu pun mampu menarik minat anak-anak. 

Buku-buku cerita klasik seperti Lima Sekawan karya Enid Blyton pun diterbitkan kembali dengan kaver baru.

Buku-buku cerita anak karya para penulis lokal pun tak kalah bagus. Keberadaan komunitas-komunitas penulis seperti Komunitas Penulis Bacaan Anak turut memberi andil. 

Penulis-penulis yang berada dalam komunitas ini telah menelurkan banyak karya. Beberapa di antaranya bahkan meraih penghargaan bergengsi.

Rangkul Penulis Bacaan Anak

Sayangnya, di sisi lain masih ada saja buku anak (termasuk buku pelajaran untuk anak-anak) yang kontennya tidak sesuai. 

Masih ingat dengan cerita dewasa “Kang Mamat dari Kalipasir” yang ada di dalam buku pelajaran anak SD? Nah, itu salah satu yang kontennya ngawur.

Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah: Mengapa para penerbit buku pelajaran dan LKS itu tidak menggandeng penulis buku anak yang berkompeten?  Mengapa malah mencomot cerita yang tidak sesuai dengan usia anak-anak?

Hal ini berbeda sekali dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang serius menggandeng para penulis buku anak dalam Komunitas Penulis Bacaan Anak untuk membuat buku seri Tunas Integritas. Isi, ilustrasi, dan kemasan buku ini digarap secara profesional. Jauh dari kesan membosankan pada buku penyuluhan yang sering didrop ke sekolah-sekolah.

Jika ada kemauan, pasti bisa kok menghasilkan buku anak yang keren dan bermutu.


Referensi

"Informasi Industri Buku Indonesia". Ikatan Penerbit Indonesia, 14 Maret 2014. Dilihat tanggal 26 Agustus 2014. http://ikapi.org/news/detail/industry-info/24/informasi-industri-buku-indonesia.html

Salam,

Triani Retno A

Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

4 komentar

  1. btw, Kang Mamat udah pindah. dia gerah di Kalipasir :)

    BalasHapus
  2. Setuju banget, Teh, bahkan buku-buku anak dari penulis Indonesia banyak yang sudah alihbahasa lagi, kemaren baca bukunya Teh Nurul Asmayani, dialihbahasa ke bahasa Malaysia, hebat hebat euy, ya semoga didukung dengan visi misi yang sama pula dengan penerbit di Indonesia untuk selektif lagi menerima naskah, khususnya untuk dibaca anak-anak. Keren atuh teh, tulisannya ^_^

    -----
    bit.ly/VPzE5v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Zee. Mbak Nurul. trus Iwok juga. Teh Tethy dan Mbak Dian K juga. Aaiiiiih....keren banget. Yang bilang "buku anak itu isinya jelek dan nggak bermutu" kemungkinannya:
      - sekali-kalinya baca buku anak, dapatnya cerita yang model Kang Mamat itu, kali ya.
      - atau malah belum pernah baca buku anak yang era sekarang. Taunya cuma buku2 anak zaman baheula yang kalau dilihat dari kacamata *benerin kacamata* sekarang ya keliatan nggak menarik.

      Makasih kunjungannya, Bu Luluuuul :)

      Hapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.