Penulis Dulu dan Sekarang


Mesik ketik jadul

Setiap masa punya cerita sendiri. Yang saya obrolin di sini nggak jauh-jauh dari dunia saya. Menulis.  Gampang aja, karena saya melihat dan mengalaminya sendiri. Jadi, nggak perlu deh nanya ke saya, “Ini daftar  pustakanya apa, ya?” 

Daftar pustakanya ada dalam perjalanan panjang saya sejak mulai mengirim naskah cerpen ke majalah remaja pada tahun 1989. 

Dalam perjalanan panjang itu, beginilah saya melihat bagaimana penulis dulu dan sekarang.

Penulis Zaman Dulu

Mesin Ketik

Ini benda sakti para penulis dan pehobi menulis. Mesin ketik. Saya pakai yang merek Olympia. Bunyinya berisik, tentu aja. Perlu jari-jemari  yang kuat untuk mengentakkan tuts-tutsnya. 

Bukan satu-dua kali jari tangan kejeblos di sela-sela tuts. Maklumlah, jari-jari tangan saya langsing imut-imut.

Paling menderita kalau jari-jari tangan (khususnya telunjuk) sakit karena akan kesulitan mengetik. 

Kenapa telunjuk? Heu, itu karena saya gagal menjadi pengetik 10 jari. 

Waktu kelas 1 SMA dapat pelajaran mengetik 10 jari, sih. Tapi saya hanya ngetik 10 jari kalau guru pas lewat di dekat saya. Kalau guru menjauh, hanya kedua telunjuk sakti saya yang bekerja.

Mengetik dengan mesin seperti ini butuh kecermatan dan kesabaran.  Nggak bisa sering-sering salah ketik. Ada tipp ex kertas sih, tapi kalau kebanyakan kan jadi jelek. 

Alternatifnya, ganti kertas. Tapi sayang aja kalau kertas HVS terbuang gara-gara salah ketik itu.

Biasanya, cerpen-cerpen itu saya tulis  tangan dulu di kertas buram atau kertas berkas soal ujian atau tugas (kan belakangnya polos, tuh). Kertas-kertas berukuran folio saya potong dua atau empat, lalu distaples.  

Setelah cerpen jadi dan saya puas dengan ceritanya, baru deh saya ketik. Itu cara saya meminimalkan kesalahan ketik sekaligus menghemat.

Oh ya, jangan lupakan pita mesin ketik. Wah, udah level master deh kalau cuma urusan ngeganti pita mesin ketik. Pita itu sering saya pasang bolak-balik. 

Pokoknya, kalau sisi sebaliknya masih bisa memunculkan huruf berwarna hitam, nggak usah ganti dulu. Ngirit!

Cukup lama saya menulis cerpen-cerpen saya dengan si Olympia ini. Saya baru punya komputer sendiri tahun 1997

Tahun 1995-an, kalau mau menulis cerpen di komputer, ya ke rental komputer dulu. Belum ada program Windows. Masih pakai DOS dan WS.

Disket program DOS dan WS itu pun harus bawa sendiri. Disket masih besar, tipis, dan mudah rusak. Biaya rental? Sekitar Rp200 - Rp300 per jam.

Disket tahun 1990aa
Disket andalan tahun 1995.


Komputer dibeliin ortu (lupa waktu itu harganya berapa). Printer beli sendiri dari honor-honor cerpen. 

Nah, ini ingat banget. Harganya Rp400.000. Maklum, duit hasil keringat sendiri, jadi lebih nancep di ingatan. Harga pisang goreng ketika itu Rp 100,- per potong.

Kirim Naskah ke Majalah

Naskah yang sudah selesai diketik itu kemudian dikirim ke redaksi dalam amplop tertutup. Jangan lupa sisipkan perangko di dalamnya jika ingin naskah itu dikembalikan apabila dinilai tidak layak muat. Setelah itu, menunggu.

Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya mendapat kabar tentang naskah itu. 

Kalau dimuat, kabar itu berupa  surat bahwa cerpen itu layak muat, bukti terbit majalah, dan selembar wesel pos. Kalau ditolak, kabar itu berupa sebuah amplop tebal berisi naskah.

 
Menelepon ke redaksi majalah untuk menanyakan kabar cerpen, tidak terpikirkan.  Biaya telepon interlokal pada siang hari kan tidak murah. 

Majalah-majalah yang saya kirimi naskah itu semua beralamat di Jakarta, sedangkan saya di Medan (sampai tahun 1990) dan Bandung (sejak 1990).

Surat dari redaksi majalah
Surat dari majalah Ceria Remaja thn 1995, cerpen akan dimuat.

Saya pribadi percaya saja naskah saya sampai ke tangan redaksi (kalau tidak sampai, pasti dikembalikan oleh kantor pos dengan catatan: alamat tidak dikenal, sudah pindah, dll).

Mungkin karena bertahun-tahun menjalani proses seperti ini, sekarang saya sabar menunggu kabar naskah saya.  Saya tahu, redaksi menerima puluhan hingga ratusan naskah setiap hari. Semua itu harus dibaca dan dinilai.

Surat Pembaca

Kalau pembaca ingin mengenal penulis, kirim surat ke redaksi majalah yang sering memuat karya penulis itu. Nanti dimuat di surat pembaca. Bisa juga ditujukan langsung ke penulis, tapi dengan alamat redaksi majalah.

Mengenal penulis dari karya-karya mereka, lalu berkenalan. Memuji  sewajarnya, mengkritik pun dengan santun.
 
Sebagai pembaca, saya juga melakukan hal yang itu. Saya penggemar berat serial Balada Si Roy (Gol A Gong) yang dimuat di majalah Hai (kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama). 

Jadi, saya mengirim surat pada Gol A Gong, dialamatkan ke Majalah Hai. Senangnyaaa ketika surat itu dibalas. Sayangnya surat itu hilang ketika saya pindah rumah :(

Majalah Kawanku
Salah satu surat pembaca di Kawanku, Januari 2000, mengapresiasi cerpen saya.

Perpustakaan

Salah satu tempat yang sering saya kunjungi  adalah perpustakaan. Saya menjadi anggota di banyak perpustakaan di Bandung. 

Saya membaca buku apa saja yang menarik minat saya. Komik, sejarah, biografi, novel, ensiklopedia, teknik menulis, dan sebagainya.

Saya percaya, membaca akan memperluas wawasan saya. Saya percaya, membaca akan memperkaya tulisan-tulisan saya. 


Penulis Sekarang

Komputer dan Laptop

Penulis dan pehobi menulis sekarang sangat dipermudah dan dimanjakan oleh teknologi. Komputer, laptop, netbook, smartphone

Tak perlu jari-jemari yang kuat untuk mengentak tuts. Tak perlu repot jika salah ketik, tinggal tekan delete atau backspace. Langsung bersih tanpa noda. Cling!
 
Selesai mengetik, tinggal simpan di harddisk, flashdisk, atau media penyimpanan lainnya. Kalau ada bagian yang mau diubah sebelum dikirim, tak perlu mengetik ulang. Tinggal edit-edit saja.

Kirim Naskah

Mengirim naskah pun tak selalu dalam bentuk kertas. Banyak media massa dan penerbit yang sekarang menerima kiriman naskah lewat surat elektronik alias email.  Dengan email, naskah sampai di tempat tujuan dalam hitungan detik.

Menghubungi redaksi majalah atau editor penerbit pun jadi gampang. Selain bisa mengontak mereka lewat email, mereka juga bisa dijumpai di media sosial.

Mengenal penulis? Apalagi ini. Gampang sekali. Mereka ada di berbagai jejaring sosial.  Tinggal cari, add atau follow. Kirim DM, kirim pesan inbox, berkomentar di status, atau langsung mention saja.

Membaca? Waaah, internet seperti surga ilmu. Tinggal klik atau sentuh, informasi yang diinginkan pun muncul. Informasi benar-benar ada di ujung jari. 


Saya sering kagum sama penulis-penulis (banyak yang masih usia belasan atau 20-an, lho) yang bisa menghadirkan tempat yang jauuuuh dan belum pernah mereka datangi ke dalam cerita-cerita mereka. 

Mereka riset di internet, chatting dengan teman yang tinggal di tempat jauh itu, bertanya ke biro perjalanan wisata, dan sebagainya. Keren banget.

Dengan semua kemudahan dan kenyamanan yang ada sekarang ini, penulis dan pehobi menulis seharusnya bisa lebih produktif.  

Memang ada penulis dan pehobi nulis yang benar-benar produktif. Karya-karya mereka (cerpen, artikel, resensi) dimuat di mana-mana. Buku-bukunya (fiksi atau nonfiksi) terbit di mana-mana. 

Tak sedikit juga yang mendulang penghasilan dari menulis di web (saya pernah sekitar setengah tahun menjadi penulis berbayar di sebuah web).


Alasan dan Etika

Sayangnya, ada yang lebih mementingkan  perangkat daripada karya. “Gimana mau nulis? Netbook aja nggak punya.”

Hello, pernah dengar yang namanya warnet, kan? Pergilah ke sana. Ketik naskahmu di sana. Uang sewa per jam hanya sekitar Rp3.000. Kalau ambil paket atau pada jam-jam tertentu, biasanya bisa lebih murah.

Ada lho penulis muda yang rela mengetik di hapenya karena belum punya laptop. Kebayang tuh gimana  pegal jempolnya karena hapenya itu bukan yang QWERTY atau touchscreen. Setelah banyak, barulah dia ke warnet untuk memindahkan ketikannya itu ke Word. 

Kalau dia berpikiran “netbook aja nggak punya”, cerpen-cerpennya belum menghiasi majalah remaja, novel-novelnya belum mejeng di toko buku.


Sayangnya, ada saja yang memaksakan keinginan. “Hari gini kok mesti ngirim print out? Memangnya nggak ada email, ya? Nyusahin banget!”

Memang tidak semua (terutama) penerbit menerima kiriman naskah dalam bentuk print out. Tapiii… bukan karena nggak punya email. Mereka punya pertimbangan sendiri, salah satunya kenyamanan membaca. 

Naskah yang harus dibaca dan di-review itu nggak cuma satu. Mata lelah lho berjam-jam setiap hari melototin naskah. 

Kalau kamu maunya kirim yang lewat email, ya cari saja yang menerima dengan cara itu. Nggak usah memaki penerbit yang memilih menerima kiriman naskah dalam bentuk print out.

Sayangnya, ada saja yang nggak sabar menunggu. “Saya udah lama ngirim naskah. Kok belum dimuat? Kalau nggak dimuat, bilang kek!”

Setelah ditanya-tanya, ternyata “udah lama” yang dimaksud adalah satu minggu. Oh! 

Teman saya yang mantan managing editor di sebuah majalah remaja pernah bercerita. Katanya, paling enggak butuh waktu satu tahun sejak naskah dikirim untuk sampai ke tangannya. 

Bukan karena pak posnya keliling dunia pake odong-odong dulu buat nganterin naskah itu. Kirim naskahnya lewat email, kok, tapiii… ada  ribuan naskah setiap minggu. Semua harus dibaca. 

Artinya, naskah kita itu harus mengantre. Padahal banyak kok yang bisa kita lakukan sambil Menunggu Naskah Terbit

Sayangnya, kemudahan menghubungi redaksi majalah atau editor penerbit sering kebablasan. 

Kirim pesan inbox atau email pukul 8 pagi, pukul 10 udah mencak-mencak karena nggak dibalas. “Sombong banget sih! Gue tanya gitu aja nggak dibalas!”

Terpikirkah bahwa saat itu mereka sedang tidak online? Terpikirkah bahwa saat itu mereka sedang rapat redaksi, sedang deadline, sedang liputan ke lapangan, atau malah sedang sakit?

Kemudahan menghubungi penulis juga sering kebablasan. “Eh, saya kan udah  beli buku kamu. Sekarang bantuin saya bikin PR, dong.”

“Saya udah beli novel kamu. Cih! Nyesel dunia akhirat! Jelek banget!”

“Eh, masa saya beli novel kamu tapi ada halaman yang kosong. Rugi saya nih. Kirimin softcopy-nya ya. Ini email saya…..”

Ergh, saya no comment aja, deh. Teman-teman penulis ada yang  mau komen? :)

Sayangnya, ada saja pembaca yang kebablasan memanfaatkan kebebasan menulis di internet. “Novel ini *menyebutkan judul dan nama penulisnya* novel paling jelek yang pernah gue baca. Sampah! Heran gue, novel tolol gini kok bisa terbit. Editornya buta semua kali, ya? Tapi baiklah, gue resensi dulu bentar sebelum nanti gue lempar novel ini ke gerobak sampah.”

Ada yang berpendapat bahwa semakin kejam “meresensi” sebuah buku, semakin kerenlah “resensi”nya itu. 

Kata resensi di sini sengaja saya beri tanda petik karena esensi meresensi bukanlah membantai sebuah karya sampai membuat penulisnya (kalau kebetulan baca) putus asa, menangis, remuk redam, dan berhenti menulis.

Penulis memang butuh masukan dari pembaca. Tapi penulis juga manusia biasa yang nggak suka dimaki-maki dan dihina-dina seperti itu. Mengkritik tidak sama dengan menghina, lho.

Kemudahan yang ditawarkan oleh internet pun sering disalahgunakan. Penulis-penulis kopas bermunculan. Ganti nama tokoh dan nama kota, lalu akui sebagai karya sendiri. Copy sebuah alinea yang menarik di internet, lalu paste ke dalam naskah sendiri. 

 

Ambil Positifnya

Sekarang tentu saja saya nggak mau kembali menulis dengan mesin ketik. Teknologi sangat membantu saya. 

Dengan mesin ketik jadul, nggak mungkin saya bisa menjadi penulis di web, nggak mungkin bisa mengirim tulisan ke media online, nggak mungkin bisa ngeblog, nggak mungkin bisa lancar berkomunikasi dan unduh-unggah (download-upload) pekerjaan dari dan untuk penerbit di berbagai kota.


Penulis dan blogger asal Bandung
Dengan laptop ini saya menghasilkan 5 buku fiksi, 1 buku nonfiksi, dan puluhan buku editan.
 

Teknologi internet membuat saya mudah melakukan riset kecil-kecilan untuk tulisan saya, mencari ide, belajar online (gratis atau berbayar), plus kenal dengan para penulis idola saya semasa remaja. Gol A Gong, Hilman, Gustin Suradji, Zara Zettira, Donatus A. Nugroho….

Mengirim naskah? Saya ikuti saja aturannya. Kalau mesti print out, ya print out. Kalau bisa lewat email, ya lewat email. Gampang, kan?

Saya menikmati kemudahan ini. Berterima kasih banget. Saya hanya berharap kemudahan yang ada sekarang ini tidak disalahgunakan. 

“Tiap zaman kan punya gaya sendiri.”

Bener banget. Semoga “menghina dina” dan perilaku sak dheg sak nyet tidak menjadi gaya zaman ini. 


Salam,

4 komentar

  1. Kyaaa... novel pertamaku juga dulu nulisnya via hape karena nggak punya netbook. baru deh tahun 2011 akhir sanggup kredit netbook dan mulai mengetikkan draftnya di netbook. butuh waktu 2 tahun sampai akhirnya berhasil terbit dan bukunya ada di tanganku :) Cheerrrsss!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha....terasa ya perjuangannya, Dha? Katanya sih, kalo daptnya dengan perjuangan berat, jadi lebih membekas dan lebih bisa mensyukuri :)
      Sekarang lagi nunggu novel ke berapa nih, Dha? :)

      Hapus
    2. Terasa banget, Mbak. Jadi inget terus: ini loh novel yang kutulis dengan perjuangan. Ini aja netbook-ku baru mau lunas. Tapi alhamdulillah dapat inventaris laptop dari sekolah tempatku kerja. Hihihihi... :) Lagi nunggu novel kedua dan ketiga terbit, Mbak. Enggak tahu kapan naik cetaknya. Nunggu aja, sabaaaarr... :)

      Hapus
  2. Liat mesin tik mba eno jd inget kalo dulu jaman sma saya pernah nyoba ikut lomba cerber femina pake mesin tik merk brother punya kakak saya.Baru 18 halaman rampung mesin tik rusak, saya bawa ke tempat service kena biaya perbaikian 15rb. Untungnya bayar stlh selesai. Jd msh sempet ngumpulin dr uang jajan saya yg 750perak. Sejak itu saya ga berani nulis lg. Baru kepikir utk nulis lg 2002 pas berhenti kerja

    BalasHapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.