Plagiat, Plagiator, dan Kejujuran Kita


Plagiat, plagiator, plagiarime


Beberapa minggu belakangan ini (April 2017), masalah plagiat menjadi pembicaraan hangat, bahkan menjurus panas. 

Pasalnya, Afi, seorang seleb medsos dari Banyuwangi, kedapatan melakukan tindakan curang ini.  

Beberapa tulisan yang diaku sebagai karyanya, belakangan ketahuan merupakan karya orang lain. Karya orang lain tersebut sudah lebih dulu dipublikasikan di Facebook, blog pribadi, bahkan terbit dalam bentuk buku. Duh. Buat karyamu sendiri, bukan memplagiat.

Afi bukan plagiator pertama di dunia, tentu saja. Cukup banyak penulis yang pernah tersandung masalah plagiat. Dari cerpenis sampai akademisi pernah ketahuan melakukan hal yang tidak terpuji ini. 

Tidak hanya artikel dan karya ilmiah yang kerap diplagiat. Cerpen, novel, puisi, bahkan buku anak juga rawan diplagiat.

Btw, saya bukan penggemar Afi, juga bukan pembencinya. Tapi yang jelas, saya menentang plagiat.


Plagiat, Plagiarisme, Plagiator

Kita kenalan dulu yuk dengan ketiga kata ini. Kita merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbaru, ya.

  • Plagiarisme adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta.

  • Plagiat artinya pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

  • Plagiator = orang yang mengambil karangan (pendapat dsb) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dsb) sendiri; penjiplak.

Kalau melihat definisi di atas, termasuk dalam tindakan plagiat adalah meng-copy paste status medsos, cerita humor, kisah inspiratif, renungan, dan sebagainya buah pikiran orang lain, lalu menyebarkannya tanpa mencantumkan nama penulis asli. 

Hayooo … pernah melakukannya nggak, nih ?

Di lini masa Facebook dan WA grup saya, bertebaran nih yang begini. Beberapa status  Facebook dan tulisan saya di web (saya pernah menjadi content writer di sebuah web) pun dipublikasikan oleh banyak orang lain tanpa mencantumkan nama saya, bahkan ada yang jelas-jelas mencantumkan nama mereka sebagai penulisnya.

Duh, sesulit itukah mencantumkan nama penulis aslinya?  

Memang, ada orang tertentu yang membebaskan siapa pun meng-copas dan menyebarkan tulisannya tanpa perlu minta izin. Namun, jangan gebyah uyah menyamakan semua tulisan bisa di-copas sesuka hati. 

Kalaupun ada keterangan “feel free to copas and share”, tunjukkan dong kita punya etika dan rasa terima kasih dengan mencantumkan nama si penulis.

Baca di sini pendapat Ketua MPR tentang plagiat: Plagiat Itu Rampok, Korupsi.


Alasan Memplagiat

Dari pengamatan saya, ada beberapa alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan penjiplakan ini.

Alasan melakukan plagiat

Alasan memplagiat karya orang lain.
 

1. Jalan pintas

Yang namanya jalan pintas, memungkinkan seseorang bisa lebih cepat mencapai tujuannya. 

Begitu juga dalam menulis. Tanpa perlu susah-susah mencari ide, memilih diksi, memikirkan plot, dan sebagainya, seseorang bisa jadi penulis cerpen atau novel.

Tanpa perlu susah-payah melakukan riset dan studi literatur, seseorang bisa memperoleh gelar akademis atau nilai untuk kenaikan pangkat. Caranya? Menjiplak. Mencuri karya orang lain.


2. Memperoleh materi

Materi juga menjadi alasan. Honor sebuah cerpen, puisi, resensi, atau artikel di media massa bervariasi. Ada yang beberapa puluh ribu rupiah, ada juga yang menyentuh angka satu juta.

Bikin ngiler? Bisa jadi. Mungkin itu juga yang ada di benak para koruptor. “Kalau bisa dapat uang banyak dengan cara mudah, ngapain susah-susah.” Yeah, meskipun caranya melanggar hukum.

Ada sebuah infomasi menarik dari sahabat saya. Beberapa kampus memberi insentif berupa uang pada mahasiswa yang karyanya dimuat di media massa. 

Sayangnya, niat baik kampus tersebut disalahgunakan oleh segelintir oknum mahasiswa. Oknum ini memplagiat karya orang lain dan memperoleh materi dobel: dari media massa dan dari kampus. 

Belum lagi honor yang didapat karena mengisi acara kepenulisan di sana-sini karena dianggap sebagai penulis produktif, penulis muda berbakat, dan sebagainya.




3. Popularitas

Orang-orang yang belum merasakan jatuh bangunnya menjadi penulis (apalagi yang berada di luar dunia kepenulisan) sering menganggap profesi “penulis” itu sebagai sesuatu yang wow keren!

Karya bertaburan di mana-mana, dikenal banyak orang, diundang ke sana-sini sebagai pembicara. Kalau beruntung, bisa menjadi seleb seperti Raditya Dika.

Popularitas ini pun bisa dinikmati oleh mereka yang memplagiat tulisan orang lain untuk diposting di akun media sosial.

Memang, tidak langsung mendatangkan honor seperti jika tulisan dimuat di media massa. Tapi kalau sampai viral dan dibagikan oleh ribuan orang, apa tidak mendatangkan popularitas bagi si pemilik akun? Orang yang tadinya tidak tahu, jadi tahu. Engagement akun-nya jadi tinggi.

Kalau engagement tinggi, promosi produk lebih mudah, jualan lebih laris, serta ada kemungkinan dilirik oleh pemodal, penerbit, atau media massa.


4. Pengakuan dari lingkungan

Saya pernah bertanya pada seseorang *identitas dirahasiakan* kenapa dia memplagiat karya orang lain.

Jawabannya sungguh di luar dugaan saya. “Saya ingin diakui oleh lingkungan saya. Mereka selama ini selalu merendahkan saya, meremehkan saya. Saya ingin mereka lihat saya juga bisa berkarya lewat tulisan.”

Alasan yang menyentuh hati. Namun, tak mengubah kenyataan bahwa plagiat adalah perbuatan curang.


5. Kekaguman pada penulis lain

Yang satu ini terdengar aneh, tetapi ternyata ada. Seorang teman pernah bercerita bahwa novel karyanya diketik ulang dan dipublikasikan di Wattpad dengan nama orang lain. Semua sama. Hanya nama tokoh-tokohnya yang berbeda.

Belakangan si penjiplak mengaku bahwa ia begitu menyukai novel itu. Begitu mengagumi kepiawaian si penulis dalam bercerita. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengetik ulang novel tersebut. Sama persis, kecuali pada nama tokoh-tokohnya… dan nama penulisnya.

Alasan ini sungguh membuat saya gagal paham. Katanya kagum, kok malah menikam orang yang dikaguminya, ya? 

Kalau kagum itu mbok ya bantu mempromosikan buku aslinya supaya makin banyak yang beli dan baca. Bukannya malah menikam dari belakang.


6. Ketidaktahuan

Begitulah. Ada plagiator yang tidak tahu bahwa memplagiat itu salah, bahkan melanggar undang-undang hak cipta. 

Ketidaktahuan ini tentu tidak bisa didiamkan. Perlu edukasi supaya sama-sama paham dan tidak menzalimi penulis aslinya.

Plagiat dan plagiator
Plagiat? Nggak tahu dan nggak mau tahu.
 
Ada yang tidak tahu bahwa menyalin (copy) tulisan orang lain lantas menempelkannya (paste) di file lain lalu mengubah nama si penulis dengan namanya sendiri adalah plagiat.

Ada pula yang tidak tahu bahwa mengetik ulang karya tulis orang lain lalu mengganti nama penulisnya dengan namanya sendiri, apa pun alasannya, adalah plagiat.

Ada juga yang tidak tahu bahwa mengutip pendapat orang lain tanpa mencantumkan nama penulis asli dan sumbernya secara lengkap, adalah plagiat.

Ada yang tidak tahu dan parahnya lagi: ada yang tidak mau tahu.

Di blog ini ada banyak tulisan saya seputar menulis. Insya Allah bukan bualan karena berangkat dari pengalaman menulis saya sejak era mesin ketik dan floppy disk :D Berikut beberapa di antaranya:




Seperti saya tulis di awal, saya bukan penggemar Afi, tetapi juga bukan pembencinya. Yang saya tidak suka adalah ketidakjujuran dalam berkarya. Lepas dari namanya Afi atau bukan.

Ada yang “lucu” dari ribut-ribut kecaman terhadap Afi yang ketahuan memplagiat. 
Saya menemukan beberapa orang yang juga suka meng-copas tanpa mencantumkan nama penulis asli, ikut lantang mengecam Afi. 

Duh, seperti melihat maling meneriaki orang lain sebagai maling.

Mari terus berusaha untuk jujur dalam berkarya. Hindari tindakan plagiat. Jangan pernah menjadi plagiator.


Salam, 

 Triani Retno A
www.trianiretno.com 
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.