Menjaga Kesehatan Mental di Media Sosial

 

Upaya menjaga kesehatan mental

Cara kita menjaga kesehatan mental bisa saja berbeda dengan cara bestie kita.

Bahkan, bukan tidak mungkin cara yang kita anggap terbaik untuk menjaga kesehatan mental justru menjadi pemicu stres pada orang lain.

Kita Tidak Sedang Baik-Baik Saja

Kesehatan mental (mental health) belakangan ini ramai dibicarakan. Kalau saya tidak salah mengamati, mulai ramai di masa parah-parahnya pandemi.

Di mana-mana orang merasa sedih, cemas, takut, dan stres. Ada yang kehilangan anggota keluarga inti, kehilangan sahabat terbaik, kehilangan pekerjaan.

Rasanya tidak ada yang merasa B aja menghadapi kenyataan seperti itu.

Termasuk saya. Grup alumni SMA lintas angkatan penuh dengan kabar duka cita. Dalam satu pekan tiga teman seangkatan saya meninggal karena virus ini. Juga beberapa tetangga.

Beberapa teman saya sesama penulis pun pergi setelah tak sanggup lagi melawan virus corona. Ada teman saya, suami istri, meninggal karena corona. Meninggalkan anak tunggal mereka yang masih berusia belasan sebagai yatim piatu.

Stres? Tentu saja. Overthinking? Of course. Tambah lagi keuangan babak belur di masa itu.

Dalam sebuah assesmen, terbukti bahwa tingkat stres saya ketika itu sudah jauh di atas rata-rata. Mau tidak mau saya harus mengelola stres untuk hidup lebih baik.

Tentu saya tak sendiri. Ribuan, jutaan orang mengalami tekanan yang sama. Tidak hanya harus menjaga imunitas tubuh agar tidak tumbang dihajar virus, tetapi juga menjaga kewarasan batin.

Baca Juga: Menjaga Kewarasan Saat Pandemi

Kondisi memang sedang tidak baik-baik saja. Kesehatan mental di masa pandemi menjadi masalah serius. Bukan berarti setelah pandemi mereda lalu tidak serius lagi.

Kesadaran bahwa kondisi sedang tidak baik-baik saja membuat banyak orang, termasuk saya, melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kewarasan. Melakukan apa saja untuk memperoleh kembali kesehatan mental.
penyebab masalah kesehatan mental
Masalah kesehatan mental bisa terjadi pada siapa saja. (Foto: Pixabay)

Harus kuat lagi. Harus waras lagi. Harus sehat lahir batin. Peduli amat dengan orang lain. Yang penting harus bahagia dan kembali melanjutkan hidup secara normal.

Pengertian Kesehatan Mental

Sebelum bercerita lebih jauh, coba kita lihat dulu pengertian kesehatan mental menurut para ahli.

Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan mental adalah kondisi sejahtera ketika setiap individu dapat mewujudkan potensi dirinya.

Kondisi mental kita baik jika batin kita merasa tenang dan tentram. Kita bisa menikmati hidup dan kehidupan dengan bahagia. Kita bisa menghargai orang lain di sekitar kita secara positif. Kita pun bisa menggunakan potensi diri kita secara maksimal.

Dengan kata lain, kesehatan mental berkaitan dengan cara kita berpikir, merasakan, dan melakukan sesuatu.

Kesehatan mental bisa terganggu oleh banyak hal, seperti stres dan faktor lingkungan.

Masalah kesehatan mental bisa berat, tapi bisa juga ringan saja. Mungkin awalnya cuma satu dua masalah kecil terpendam di dalam kamar kenangan batin. Namun, lama-kelamaan menjadi banyak, semakin berat, dan mulai mengganggu kewarasan mental.

Semua orang bisa mengalami masalah ini. Termasuk kita. Iya, kita yang sehari-hari terlihat ceria, humble, dan baik-baik saja.

Media Sosial, Menjaga dan Merusak

Banyak cara yang dilakukan untuk menjaga kewarasan ini. Salah satunya dengan bermedia sosial. Terutama Facebook, Instagram, dan Twitter.
Media sosial dan masalah mental health
Media sosial bisa memperburuk masalah mental health. (Foto: Pixabay)

Wujudnya bisa bermacam-macam. Misalnya:

  • Menulis status sesuka hati, terutama menumpahkan beban batin.
  • Mengunggah foto apa pun yang ada di galeri ponsel.
  • Skrol-skrol timeline.
  • Berkomentar sana-sini.

Hasilnya juga macam-macam. Ada yang batinnya merasa lebih plong dan damai. Ada yang mendapat ide-ide baru. Ada yang di-unfriend teman. Ada pula yang mentalnya semakin down.

“Kalau lagi ada masalah mental health gitu jangan main medsos dong.”

Hm … saya nggak setuju dengan ujaran itu. Menurut saya, bukan media sosialnya yang salah, melainkan kita yang kurang menerapkan kendali.

Saya bermedia sosial dalam kondisi senang dan sedih, dalam suka dan duka. Saya pernah merasa semakin sedih gara-gara media sosial.

Di sisi lain, saya juga merasa membaik, kembali bersemangat, dan berdamai dengan batin gara-gara medsos.

Dari situ saya paham, kuncinya ada di tangan saya.

Saya tidak bisa melarang orang menulis status atau mengunggah foto yang membuat hati saya makin nyesek, makin terluka, makin merasa gagal, dan makin-makin lainnya yang negatif.

Namun, saya bisa memilih untuk menyembunyikan orang tersebut dari beranda media sosial saya. Baik disembunyikan sementara (snooze) atau selamanya (unfriend, blokir).

Baca Juga: Waspadai Kekerasan di Media Sosial

Bagi si A, menulis masalah pribadi (termasuk masalah keuangan, keluarga, bertetangga) di media sosial adalah sebuah katarsis. Sebuah usaha untuk bertahan tetap waras. Ya silakan saja.

Siapa tahu dia dapat solusi dari netizen atau didoakan orang banyak supaya masalahnya teratasi dengan baik.

Namun, kalau itu memicu stres saya sendiri, maka saya sembunyikan dulu statusnya dari pandangan saya selama sekian waktu.

Media sosial dan kesehatan mental
Kita yang memegang kendali agar tetap waras. (Foto: Pixabay)

Bagi si B, mengunggah foto-foto masakan yang enak-enak adalah sebuah katarsis. Ya silakan saja. Mungkin unggahannya itu bisa menginspirasi banyak orang yang bingung mau masak apa.

Apakah unggahan seperti itu pernah membuat saya terganggu?

Oho, tentu saja pernah. Bayangkan. Ketika keuangan saya sudah sangat menipis dan harus mengirit sedemikian rupa, saya melihat si B mengunggah rendang daging, ikan kakap asam manis, dan puding cokelat untuk makan keluarganya siang hari itu.

Setiap orang punya alasan posting foto di media sosial. Termasuk si B ini. Katanya, memasak dan mengunggahnya di media sosial adalah jalan ninjanya untuk menjaga kesehatan mental.

Kalau saya protes, komentar yang saya dapat malah, “Makanya jaga hati dong. Jangan sirik sama kebahagiaan orang.”

Heuh, makin nyesek kan rasanya.

Jadi, saya diam saja. Biar sama-sama waras, saya senyembunyikan akunnya untuk sementara waktu.


Kita yang Pegang Kendali

Kendali bermedia sosial ada di tangan kita sendiri. Ada yang mlipir dulu dari keriuhan media sosial demi kesehatan mental.

Di sisi lain, ada yang sehat nggak sehat tetap bermedia sosial. Bukan karena FOMO, bukan karena antisosial, tetapi karena menjala rezekinya ya dari medsos ini.

Kendali yang saya lakukan agar tetap waras saat bermedia sosial:

1. Lewati dan sembunyikan.

Skip-skip, sembunyikan, atau sekalian saja unfol akun yang postingannya memicu stres.

Mungkin bagi orang lain menginspirasi. Tapiii … kalau malah bikin saya stres, yaaa … saya pilih menyelamatkan kewarasan saya.

2. Pilih akun yang menenangkan.

Dari sekian banyak akun di media sosial, pasti ada akun yang membuat hati terasa nyesss. Adem, menenangkan. Atau akun yang bisa membuat tertawa lepas.

Bagi saya, itu adalah akun Instagram @teladanrasul dan @bintangemon. Bagi teman saya, itu berarti akun-akun traveling. Bagi teman saya yang lain itu adalah akun oppa-oppa glowing.

Kalau lagi suntuk lalu buka IG, nggak perlu skrol-skrol timeline. Langsung saja ke akun mereka.

3. Buat akun baru.

Akun baru ini khusus untuk mengikuti yang bener-bener diminati. Tak perlu mengundang teman untuk terhubung di sana.

Algoritma media sosial kan membaca minat kita. Kalau kita sering melihat foto dan video make up artist, ya begitulah nanti yang akan muncul di saran pencarian (suggestion)
Bijak bermedia sosial
Tetap bijak bermedia sosial agar tidak "kena mental". (Foto: Pixabay)

Kalau kita tidak bisa mengendalikan orang lain, setidaknya kita kendalikan diri kita sendiri. Termasuk mengendalikan jari-jemari agar tidak sampai melukai hati orang lain.

Oh, saya pun masih terus belajar mengendalikan diri. Masih terus berproses untuk menjaga kesehatan mental saya.

Kapan-kapan (kalau ingat) saya ceritakan cara lain yang saya lakukan untuk menjaga kesehatan mental ini.

Tetap sehat ya kita semua.

Salam,

Triani Retno A

1 komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.