Masa Kecil di Rumah Tua Peninggalan Belanda

Rumah peninggalan Belanda di Aceh

Salah satu grup Facebook yang masih setia saya datangi (sebagai silent reader) adalah Grup Bangunan Kolonial Kota2 Indonesia.

Seneng aja. Di grup itu banyak orang yang berpengetahuan luas tentang bangunan kuno. Ada yang suka blusukan untuk napak tilas jejak masa lalu. Ada yang punya dokumentasi foto-foto lawas.

Seru!

Beberapa foto tua tentang rumah-rumah zaman Belanda kadang membuat saya seperti mengalami déjà vu.

Saya merasa pernah tinggal di rumah itu, pernah berjalan-jalan di sana pada masa lampau … sekitar abad ke-18 dan 19.

Sampai kemudian saya lihat Om Bin, begitu warga grup memanggil Pak Bintoro Hoepoedio, mengunggah foto-foto Aceh Tempo Doeloe.

Salah satu foto zaman Belanda yang diunggah Om Bin adalah deretan rumah panggung yang salah satunya kemudian menjadi rumah dinas orangtua saya.

Hei, itu rumah masa kecil saya!

Rumah Masa Kecil

Banda Aceh tahun 1980an
Kakak saya (baju biru) dan teman-temannya di depan rumah di Neusu Selatan.

Bercerita tentang rumah masa kecil (sebelum saya akil baligh), yang saya ingat hanya dua rumah.

Kata kakak-kakak saya sih ada 3 rumah lainnya. Satu rumah semasa saya bayi di Bandung, dua rumah ketika kami baru pindah ke Banda Aceh. Tapi saya sama sekali tidak ingat.

Kalau dipikir-pikir, perasaan “pernah tinggal di sana pada masa lalu” mungkin berasal dari kenangan masa bayi-balita yang terekam jauh di bawah sadar. Eh, tapi nggak sampai ke abad 18 juga sih!

Dua rumah masa kecil yang saya ingat sama-sama terdiri atas dua bagian.

Bangunan utama berupa rumah panggung berlantai dan berdinding kayu dengan langit-langit yang tinggi. 
Langit-langit rumah yang tinggi dengan jendela berdaun dua yang juga tinggi-tinggi membuat sirkulasi udara lancar.

Di bangunan utama ini ada teras, ruang tamu, ruang makan, dan ruang tidur. Menuruni tangga di belakang rumah, ada koridor terbuka menuju dapur dan kamar mandi. Di satu sisinya adalah halaman luas.

Kalau malam-malam kebelet ke kamar mandi gimana?

Ya minta dianterin, dong! Memangnya saya berani keluar sendirian? Tentu saja tidak!

1. Rumah di Kraton

Rumah pertama adalah di Kraton, hanya seengklekan jaraknya dari Pendopo Gubernuran.

Tidak banyak yang saya ingat dari rumah di Kraton ini. Saya tidak ingat tentang kamar mandi dengan interior jadul peninggalan Belanda.

Saya bahkan tidak tahu (atau sama sekali tidak ingat) tentang suara derap kaki pasukan di dalam rumah atau sosok-sosok gaib. Saya baru tahu tentang kejadian gaib itu setelah diceritakan oleh kakak dan ibu saya sekian tahun kemudian

Teman-teman yang sering baca status saya di FB atau pernah baca tulisan saya tentang Kumpulan Cerita Horor di Hotel, mungkin agak susah percaya. Tapi memang itu kenyataannya. Saya nggak sepeka yang dikira banyak orang.

Yang saya ingat cuma saya punya teman khayalan bernama Winda Antik. Dia cantik, putih, berambut panjang, dan tinggal di pohon besar di halaman rumah.

Uhk! Dipikir-pikir sekarang dengan pikiran orang dewasa, kok seram ya? Itu temen khayalan atau hantu penunggu pohon?

Salah satu dari sedikit yang saya ingat adalah di jajaran rumah kami itu ada rumah dr. Yong. Dokter keturunan Tionghoa ini baik banget.

Ibaratnya sih, saya kalo sakit dibawa ke dr. Yong, belum juga minum obat udah sembuh! Sampai dibilang, saya tuh sakit karena mau ketemu dr. Yong aja. Hayoooo, ada yang waktu kecil begini juga nggak?

2. Rumah di Neusu

Rumah dinas tentara di Banda Aceh
Saya dengan bapak, ibu, nenek, dan om dari Bandung yang sedang berkunjung ke Banda Aceh.

Kami tidak lama tinggal di rumah dinas di Kraton. Saya masih belum masuk TK ketika kami pindah ke rumah dinas yang baru. Kali ini di kawasan Neusu Selatan.

Kami tinggal di rumah ini hingga saya menyelesaikan kelas 5 SD. Rumah di Neusu ini lebih luas daripada rumah di Kraton.

Ukuran objektifnya begini: di teras rumah panggung kami bisa leluasa bermain tenis meja alias pingpong. Di teras itu juga ada meja dan 4 kursi buat duduk-duduk santai.

Di kemudian hari, bagian ujung teras besar ini disekat menjadi kamar untuk ditempati saudara bapak dari Wonogiri. Sebagai orang Jawa, mestinya saya panggilnya Mas. Tapi saya malah manggil Abang, seperti lazimnya orang-orang Aceh memanggil saudara laki-laki yang lebih tua.

Ruang tamu besar dipakai oleh bapak untuk menyimpan satu set gamelan. Lengkap dari saron, gendang, sampai gong besar. Pada hari-hari tertentu teman-teman bapak datang untuk berlatih gamelan.

Ruang tamu yang lebih kecil ada di antara ruang makan dan teras, tapi jarang dipakai. Tamu lebih sering diterima di ruangan lainnya di antara ruang makan dan ruang tamu besar. Di ruangan ini pula kami biasa menonton TV. Mungkin sekarang ruangan begini lebih dikenal dengan nama ruang keluarga.

Sampai di sini, bisa membayangkan gimana kalau sedang bersih-bersih rumah? Hahaha… mo nangis rasanya! Capeknyaaa!

Halaman rumah juga luas. Di halaman belakang ada garasi (bisa muat dua mobil), kandang merpati, kolam ikan mujair (dan saya senang nyebur ke situ), kebon berisi pohon singkong, pohon jambu, pohon mangkokan, dll. Yang bisa dimasak jadi makanan, deh.

Plus ada deretan kandang ayam, karena ibu saya sempat usaha ternak ayam broiler buat nambah-nambah penghasilan.

Halaman depan teduh dengan pohon asam jawa yang tinggi besar. Saya hobi banget dah mungutin buah asam yang berjatuhan. Dijadikan minuman atau dicocol saja ke gula pasir. Amboi, sedaaaap!

Kalau mau main kemah-kemahan, halaman berumput di bawah pohon asam itulah tempatnya.

Di depan kompleks ada lapangan sepak bola, lapangan basket, lapangan voli, dan lapangan tenis.

Di seberang lapangan ada SD Negeri yang bagian bawahnya tembok, bagian atasnya dinding kayu. Di situlah saya bersekolah hingga kelas 5 SD. Tidak sampai lulus karena ortu keburu pindah dinas ke kota lain.

Kepingan cerita tentang Banda Aceh tempo doeloe bisa dibaca juga di tulisan saya yang ini:

Kompleks Pejabat Militer Belanda

Banda Aceh zaman Belanda
Pemandangan Neusu tahun 1895. Ketika kami tinggal di sini tahun 1980an, jalannya sudah beraspal dan pohon-pohonnya sudah tinggi besar. Foto: FB Bintoro Hoepoedio.

Lama berselang, barulah saya tahu bahwa rumah-rumah panggung yang kami tempati dulu adalah rumah peninggalan Belanda. Tepatnya, kompleks perwira militer Belanda.

Belanda memilih kawasan ini karena menilainya aman (dari banjir) dan strategis. Tapi tetap saja rumah-rumah untuk para perwira Belanda itu dibangun dalam bentuk rumah panggung.

Bukan supaya aman dari banjir saja ternyata, tetapi juga karena lebih tahan gempa. Semasa tinggal di sana, saya sempat mengalami gempa besar. Namun, rumah tak mengalami kerusakan berarti. Mungkin karena konstruksi bangunan ini, ya.

Bagaimana ketika terjadi bencana tsunami yang melumpuhkan kota Banda Aceh tahun 2004? Info dari teman-teman lama saya (kami terhubung kembali melalui Facebook), kawasan Neusu ini aman, sama sekali tak tersentuh tsunami. Hanya gempa besarnya yang terasa mengguncang,

Kalau Teman-teman menebak orangtua saya adalah anggota TNI, tebakan itu sangat betul. Itulah sebabnya kami menempati rumah besar ex perwira Belanda tersebut.

Setelah Belanda hengkang, rumah-rumah eks pejabat militer Belanda itu memang menjadi rumah dinas tentara Kodam Iskandar Muda.

Menjadi Cagar Budaya

Cagar budaya Banda Aceh
Sekitar tahun 1895, ketika menjadi perumahan militer Belanda. Rumah yang kami tempati tahun 1980an bukan ini, tetapi masih satu kompleks. Foto: FB Bintoro Hoepoedio.

Ketika menulis kenangan masa kecil ini, saya sempatkan browsing untuk mengetahui kondisi rumah masa kecil saya.

Surprise rasanya ketika membaca berita di aceh.tribunnews.com bahwa kawasan rumah kami dulu telah ditetapkan sebagai kawasan kota tua.

Sementara itu, rumah-rumah panggung peninggalan Belanda yang kami tempati dulu telah menjadi cagar budaya. Penetapannya sudah bertahun-tahun lalu, sih. Saya aja yang baru tahu.

Ah, jadi rindu. Semoga ada rezeki untuk berkunjung ke kota masa kecil saya dan menyusuri jejak-jejak yang tertinggal di sana.


Referensi
  • https://aceh.tribunnews.com/2015/04/01/menyusuri-jejak-kolonial-di-kota-tua-banda-aceh
  • Daulay, Masisal Gusri. Pemukiman Militer Peninggalann Belanda di Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119-130.

4 komentar

  1. Napak tilas melalui foto ini antara ingat gak ingat, yaa.. teh.
    Masa kecilku juga di Pangkalan Brandan, Sumut. Dan kalau ditanya, memoriku samar banget.

    Tapi yah, kalau soal "peka" terhadap hal-hal yang gak terlihat ini memang hanya orang-orang tertentu dan di waktu tertentu juga gasii, teh?
    Gak setiap saat bisa.

    Tapi jadi kabar baik karena gak terlalu banyak memori seram.
    Hehehe, walau pun bagi penulis, pengalaman unik sekecil apapun bisa jadi ide cerita ya, teh..

    BalasHapus
  2. Aku lahir di Makassar smp 3 tahun. Terus ke Magelang. Pernah sih napak tilas ke Makassar, udah engga ada rumahnya. Seru kayaknya mb Retno kalau napak tilas ke Aceh tuh, apalagi rumahnya masih ada. Foto deh, posisinya kayak zaman dulu...

    BalasHapus
  3. Saya suka melihat rumah peninggalan Belanda. Tinggi-tinggi dan besar-besar. Di Yogya, kota tempat tinggal saya, masih banyak bangunan peninggalan Belanda. Dalam hati saya hanya bisa berharap dan berdoa agar rumah-rumah tua tersebut tidak berubah bentuk, namun tetap dilestarikan atau menjadi cagar budaya.

    BalasHapus
  4. Bangunan peninggalan Belanda tuh lebih kokoh. Beda sm bangunan zaman sekarang. Meski lebih modern tapi nyatanya ga sekokoh yg zadul.

    BalasHapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.