Membentuk Pribadi Berintegritas dari Rumah


Pribadi Berintegritas


Integritas dalam Keluarga

Menjadi ibu adalah sesuatu yang gampang-gampang susah. Kelihatannya gampang tapi ternyata banyak tantangannya. 

Kelihatannya susah tapi ternyata bisa kok dijalani, apalagi kalau punya ilmu yang memadai dan tekad yang kuat. 

Bagi saya, menjadi ibu adalah sebuah perjalanan panjang, sebuah proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. Selalu ada tantangan dalam setiap tahapannya.

Salah satunya adalah dalam menanamkan nilai-nilai integritas pada diri anak. Membentuk pribadi berintegritas dari rumah.

Orangtua mana, sih, yang tak ingin memiliki anak yang jujur, berani, mandiri, adil, peduli pada sesama, tahu bertanggung jawab, berdisiplin, suka bekerja keras, sederhana, dan sabar?
Semua orangtua pasti ingin anak-anaknya seperti itu. Tidak percaya? Coba ingat-ingat, seberapa sering kita mendengar atau bahkan mengucapkan sendiri kalimat-kalimat seperti ini pada anak-anak kita.
  • “Kalau ulangan, kerjakan sendiri. Jangan nyontek. Itu nggak jujur. Kalau ada yang mau nyontek ke Kakak juga jangan boleh.”
  • “Berangkat ke sekolah sendiri, dong. Kakak kan sudah kelas dua SD. Sudah harus berani dan mandiri. Nggak usah diantar dan ditunggu sama Bunda di sekolah.”
  • “Adik, habis main mainannya dibereskan ya. Belajar bertanggung jawab, dong.”
  • “Wah, hebat ya. Kecil-kecil dia sudah mewakili Indonesia berlomba di Jepang. Kalau Kakak ingin seperti itu, berarti harus rajin belajar. Nggak boleh males-malesan.”

Sering atau sering sekalikah kalimat-kalimat serupa itu terlontar dari lisan kita? 
Mengenai anak dan keluarga ini saya tulis juga dalam Budaya Sensor Mandiri Sebagai Bentuk Kepedulian Orangtua dan Berliterasi Sejak dari Rumah.

Anak Belajar dari Contoh Nyata

Mungkin kita sudah beribu-ribu kali mengajarkan anak-anak kita supaya jujur, disiplin, peduli pada sesama, dan sebagainya.

Tapi kadang-kadang anak tetap saja berbohong, tidak mau membersihkan kamarnya, malas belajar, atau tidak mau membantu kita menjaga adiknya. 

Rasanya kesal luar biasa. Sudah diajarkan berkali-kali tapi kok masih saja seperti itu.
Ada satu hal yang sering kita lupakan di sini. Keteladanan. Anak-anak tak cuma butuh teori harus begini-begitu. Mereka butuh contoh nyata, butuh keteladanan dari orangtua.
Nilai-nilai integritas
9+1 Nilai Integritas Bersih Korupsi.

Kita belikan mereka berjudul-judul buku tentang akhlak dan budi pekerti. Kita pilihkan buku-buku yang dikemas menarik. 
Harapan kita, anak-anak tak hanya suka membaca tetapi juga memiliki akhlak yang baik. Kita bacakan di rumah, atau anak-anak membaca sendiri. Tentang membaca ini saya tulis khusus dalam Manfaat Membacakan Buku Cerita.
Cukupkah sampai di situ? Tidak. 
Pelajaran moral yang didapat dari buku-buku itu akan mentah lagi ketika mereka melihat orangtua gemar menggunjingkan tetangga atau berperilaku kasar kepada pengemis.
Ketika membaca koran dan ada berita tentang korupsi, kita berkata pada anak, “Lihat, Nak. Dia ini koruptor.  Dia mengambil uang milik negara. Dia memakan uang yang bukan haknya. Dia pencuri. Orang seperti itu harus dihukum berat. Orang-orang seperti itu yang membuat negara ini bangkrut.” 
Cukupkah sampai di situ?
Tidak. Ceramah panjang kita tentang korupsi itu tak ubahnya omong kosong ketika kita dengan entengnya mengerjakan PR anak kita, membuatkan karya tulis yang akan mereka ikutkan dalam lomba, mewarnai lembar gambar yang seharusnya mereka kerjakan agar mendapatkan nilai tertinggi. 

Kita memaki-maki para koruptor, tetapi pada saat yang sama kita mencontohkan perilaku korupsi pada anak kita. Tanpa sadar, kita telah menanamkan mental menghalalkan segala cara dalam diri anak kita.
Anak sulung saya kebetulan juga suka menulis. Mungkin bakat, mungkin pula karena terbiasa melihat saya menulis, membaca karya-karya saya, dan sering saya ajak ke acara-acara dengan komunitas penulis. 

Namun, saya tak berambisi menjadikan ia sebagai penulis. Ia bebas memilih cita-citanya sendiri. Menulis adalah sebuah keterampilan yang perlu ia miliki karena kelak akan menunjang kariernya.

Sarah Ann wartawan cilik
Si Kakak bersama beberapa narasumbernya.

Saya tidak ingin karyanya dimuat di koran atau diterbitkan dalam bentuk buku karena dia adalah anak saya. Saya ingin dia maju dengan usahanya sendiri. 

Tugas saya adalah menjawab pertanyaannya, menjelaskan yang tidak ia mengerti, dan mengantarnya menemui narasumber atau ke tempat lomba.

Rubrik wartawan cilik
Beberapa tulisan si Kakak yang dimuat di surat kabar pada tahun 2012.

Ya, putri saya memang cukup sering mengikuti lomba menulis. Menang atau kalah adalah hasil. Yang penting dia menikmati prosesnya. Ajang-ajang lomba menulis cerpen, esai ilmiah, dan artikel itu menambah pengalaman dan wawasannya.

Menang lomba menulis
Si Kakak menjadi Juara 1 Lomba Menulis Artikel Ilmiah.

Kadang-kadang ia iseng bertanya, “Mami kenal jurinya nggak?” Kenal atau tidak, tak ada pengaruhnya. Saya tak mau mendekati juri dan panitia agar anak saya menang. 

Saya ingin anak saya berlomba secara jujur. Jika anak saya menang, itu benar-benar karena kemampuannya sendiri. Hal itulah yang saya tegaskan padanya.
Mungkin karena itulah dia santai saja menyikapi kemenangan atau kekalahannya. Kalau kalah, dia tidak lantas ngambek. 

Dia tetap mengikuti rangkaian acara sampai selesai semua. Jika memungkinkan, saya mengajaknya menghampiri para pemenang untuk mengucapkan selamat.
Sebagai ABG, kadang-kadang komentarnya malah out of topic. “Mi, cowok yang tadi menang, cakep banget ya. Kelihatan pinter, lagi.” Hehehe….

lomba bahasa Indonesia
Ikut lomba ini dan kalah, tapi tetap gembira :)

Mari Memulai dari Rumah 

Membentuk anak menjadi pribadi yang berintegritas harus dimulai dari rumah, dari diri kita sendiri. Caranya?

1. Memberikan teladan yang baik. 

Berikan teladan yang baik jika ingin anak-anak menjadi pribadi yang berintegritas. Bagaimana anak-anak bisa menjadi pribadi yang jujur jika orangtua mengajarkan ketidakjujuran? 

Bagaimana anak-anak bisa disiplin mematuhi peraturan jika orangtua membiarkan anak-anak di bawah umur mengendarai sepeda motor? 

Bagaimana anak-anak bisa menjadi pribadi yang antikorupsi jika orangtua membiasakan mereka menghalalkan segala cara? Jujur bukan hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam perilaku.

2. Konsisten. 

Contoh yang baik harus dilengkapi dengan konsistensi. Ketidakkonsistenan hanya akan menjadikan anak bingung bersikap. Termasuk di sini adalah konsisten dalam berkata dan berperilaku.

3. Memberi dukungan. 

Dukung anak-anak ketika mereka berproses menjadi pribadi yang berintegritas. Ketika anak dengan jujur mengatakan telah memberikan bekal makan siangnya pada seorang pemulung cilik, misalnya, jangan marahi ia. Ia sedang berproses menjadi pribadi yang peduli pada sesama dan jujur dalam berkata. 

Ketika anak tengah berusaha keras mewarnai gambarnya tetapi menurut kita tidak berpeluang menang karena komposisi warnanya jelek dan banyak yang keluar garis, jangan lantas mengambil alih tugasnya. Biarkan. Ia sedang berproses menjadi pribadi yang mandiri, suka bekerja keras, dan berani bertanggung jawab.

Nasihat terbaik adalah teladan yang baik. Begitu juga dalam membentuk pribadi berintegritas dari rumah. 
Lebih baik memberi contoh nyata daripada berbusa-busa menyampaikan nasihat yang tak pernah kita laksanakan sendiri. 

#parentingantikorupsi #GakPakeKorupsi

Salam,
Triani Retno A

Juara 1 Lomba Blog
Tulisan ini menjadi Juara 1 Lomba Blog Parenting Antikorupsi yang diadakan oleh KPK.

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.