Yang saya tulis di sini adalah tentang PPDB SMPN Kota Bandung. Sekadar info, PPDB SMP Negeri (dan SD Negeri) dipegang oleh Pemkot/Pemkab masing-masing.
PPDB SMP di Bandung tahun
ini terasa zalim. Kenapa saya bilang gitu?
Di juknis tecantum kuota
PPDB SMP itu zonasi 90%. Di dalam
angka 90% ini ada jatah pendaftar RMP (Rawan Melanjutkan Pendidikan, lebih
beken disebut pendaftar ber-SKTM) sebesar minimal
20%.
Kalau SMPN tersebut berada
di wilayah perbatasan, maka 10% dari 90% itu menjadi jatah pendaftar dari luar
kota.
“Lalu di mana zalimnya?
Warga miskin kan harus dibantu. Masa dibiarkan miskin terus?”
SKTM Bermasalah
Saya sepakat, orang miskin
harus diberi kesempatan untuk bersekolah, untuk maju. Diharapkan anak-anak itu
kelak dapat memutuskan rantai kemiskinan keluarga mereka.
Yang dari tahun ke tahun
bikin saya kesal adalah adaaa saja orang mampu (bahkan punya mobil pribadi dan
rumah bagus) yang entah gimana caranya bisa punya SKTM untuk mendaftar ke SMP.
Dalam bahasa kasarnya: adaaaa … saja orang mampu yang minta didoakan agar menjadi miskin.
Dalam bahasa kasarnya: adaaaa … saja orang mampu yang minta didoakan agar menjadi miskin.
Dengan SKTM sebagai surat
sakti, urusan mereka masuk ke sekolah negeri jadi lebih lancar. NHUN (alias NEM) jeblok
tertolong dengan SKTM.
Ya sudahlah. Siap-siap aja
keinginan kalian untuk menjadi miskin terkabul, ya. Banyak orang terzalimi yang
mendoakan, lho. Memangnya kalian mau jadi semiskin versi BPS RI ini?
Tahun-tahun lalu, SKTM
menjadi semacam “raja” dalam PPDB di Bandung. Terlebih tahun 2015 ketika
Wali Kota Bandung mengatakan semua
pendaftar ber-SKTM wajib diterima oleh sekolah negeri.
Bisa ditebak, kan?
Sekolah-sekolah negeri diserbu pendaftar ber-SKTM. Kemudian berbuntut pada
kemarahan Wali Kota ketika menemukan ratusan SKTM abal-abal. Orang-orang miskin-wannabe itu kemudian didiskualifikasi.
Tahun berikutnya peraturan
itu diperbaiki. Pendaftar ber-SKTM dijatah sekian persen saja.
Tahun 2018 ini, masalah di PPDB
SMP Kota Bandung meledak dari diberlakukannya sistem zonasi. Tentang hal tersebut saya tulis di artikel Sangsi dan Sanksi SKTM.
Sistem Zonasi, Si Penzalim Baru
“Lho bukannya sistem
zonasi bagus supaya anak-anak bisa bersekolah di dekat rumah aja?”
![]() |
Sumber: http://ppdb.bandung.go.id/
|
Sistem “sekolah di dekat rumah” ini maksudnya supaya anak-anak nggak capek sekolah jauh-jauh. Supaya anak-anak nggak jadi tua di jalan. Jadi bisa fokus belajar dan mengembangkan hobi. Iya, bagus banget.
Kenyataannya? Dalam PPDB SMP tahun 2018 ini, sistem zonasi menjadi raja. Wiiiw…!
Raja, dong!
Ya gimana nggak jadi raja kalau
peraturannya ZONASI 90%. Artinya: Sebanyak 90%
siswa yang diterima di sebuah SMPN dilihat dari zonasi. Dengan kata lain:
Sebanyak
90% siswa diterima berdasarkan seberapa dekat rumahnya dari sekolah. Makin
deket, makin besarrrr peluang untuk diterima. NHUN alias NEM tidak dilihat.
NEM jeblok, rata-rata cuma 3, bisa diterima di SMPN asalkan rumahnya dekat bangettt dengan sekolah.
Di Kota Bandung, seleksi
akademik hanya diberlakukan di lima SMPN yaitu SMPN 2, 5, 7, 14, dan 44.
Informasi aja nih, kelima SMPN itu
berada di luar wilayah permukiman permanen. Dalam bahasa sederhananya: hanya sedikit
warga Bandung yang menetap serta punya KK + KTP di kawasan tersebut. Nggak seperti wilayah-wilayah lain di Kota Bandung.
Yang banyak di sekitar
lima SMPN tersebut adalah instansi pemerintah, perkantoran, pertokoan, bank, kafe, restoran, taman,
tempat bimbel di Bandung, GOR, tempat ibadah, pohon-pohon, dan sejenisnya.
Dengan sistem 90% zonasi
di 52 SMP lainnya (plus 2 MTSN), maka
passing grade di lima SMP itu hanya terjangkau oleh mereka yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata.
Anak-anak dengan rata-rata NHUN 9 ke atas mendingan langsung mendaftar ke lima SMPN itu lewat jalur akademis.
Anak-anak dengan rata-rata NHUN 9 ke atas mendingan langsung mendaftar ke lima SMPN itu lewat jalur akademis.
Coba cek di http://ppdb.bandung.go.id/hasil-seleksi, lalu klik Lihat Detail (kotak biru). Akan terlihat
jelas di sana hanya segelintir pendaftar ber-NHUN tinggi di SMP 2, 5, 7, 14, dan
44 yang beralamat kurang dari 1 kilometer dari sekolah. Yang lain rumahnya
jauh-jauh, bahkan di atas 10 kilometer.
(btw, buruan aja kalau mau ngecek. Sepengalaman saya, beberapa bulan setelah selesai PPDB, web ini kosong dan baru akan ada isinya lagi pada PPDB tahun berikutnya)
(btw, buruan aja kalau mau ngecek. Sepengalaman saya, beberapa bulan setelah selesai PPDB, web ini kosong dan baru akan ada isinya lagi pada PPDB tahun berikutnya)
Maap-maap
kate, ye. Ini kok malah terlihat sebagai pengukuhan lima SMPN tersebut
sebagai sekolah favorit. Anak-anak dengan NHUN tinggi berkumpul di sana. Jadi
kontradiktif atuh dengan keinginan pemerintah sendiri tentang penghapusan sekolah favorit
dan penyebaran anak-anak pintar.
Eh,
tapi pasti nggak semua anak yang ber-NHUN tinggi daftar ke sana, kan?
Betul.
Baca terus tulisan ini, ya. Nanti kita lihat mereka ada di mana. Mangga upami bade ngaleueut heula. Baca Juga PPDB Bandung, Sebuah Catatan Kecil.
Seberapa Dekat Jaraknya?
Kita balik ke “kuota 90%
zonasi tanpa melihat NHUN”. Berapa kilometerkah jarak yang
disebut “dekat” ini?
Relatif, Beb. Kalau dirimu
tinggal di daerah padat penduduk, jarak 332 meter dari sekolah sudah dianggap
terlalu jauh! Silakan cermati tabel ini.
![]() |
Hasil seleksi berdasarkan zonasi. Yang di-highlight kuning adalah lima SMPN yang memberlakukan Seleksi Akademik. Hasil Seleksi Akademik terpisah dari hasil seleksi berdasarkan zonasi ini. |
Dari 57 SMPN + 2 MTSN di Kodya
Bandung, ada 5 SMPN dengan jarak terjauh siswa yang diterima berada di radius kurang dari 500 meter.
Yaitu SMPN 33 (331 meter), SMPN 8 (439 meter), SMPN 16 (462 meter), SMPN 24
(492 meter), dan SMPN 27 (498 meter).
Deket-deket banget, ya. Jadi
terbayang pada SMP serasa lingkungan RW.
Ketika mencari data-data
itu di situs PPDB Kota Bandung, saya juga melihat ada data yang menarik.
- Sebanyak 60 pendaftar di SMPN 17 Bandung bermukim di radius 313 meter dari sekolah.
- Sebanyak 62 pendaftar di SMPN 30 Bandung berumah di radius 78 meter dari sekolah.
- Sebanyak 99 pendaftar di SMPN 27 Bandung berumah di radius 91 meter dari sekolah.
Bisa kompakan gitu ya. Rumahnya
nempel deket-deketan, usia anak-anaknya pun sebaya hingga bisa masuk SMP barengan.
Saya nggak nuduh apa-apa,
loh. Saya nggak tahu, daerah sana itu padat penduduk atau gimana. Saya cuma ngebayangin
waktu mereka balita. Pasti lomba makan kerupuk dan pawai 17 Agustus di sana
rame banget ya. Heboh sama balita-balita imut.
Btw, itu memangnya beneran
NHUN alias NEM sama sekali nggak dianggap?
Nah, silakan perhatikan data
berikut yang saya capture dari situs http://ppdb.bandung.go.id/
![]() |
Hasil seleksi. Screenshoot #1 |
![]() |
Hasil seleksi. Screenshoot #2 |
Terlihat jelas di situ,
yang diterima di peringkat 1 jarak dari rumah ke sekolah hanya 27 meter dengan
skor akademik (NHUN) 177,1. Sedangkan yang diterima di peringkat paling bawah jarak dari
rumah ke sekolah 1816 meter (alias 1,816 km) dengan skor akademik (NHUN) 253,2999.
Di SMP-SMP lain juga seperti itu. NHUN tinggi bisa kalah atau malah keluar dari daftar yang diterima karena masalah jarak. Berburu SMP Negeri di Bandung bener-bener butuh perjuangan, nih.
Di SMP-SMP lain juga seperti itu. NHUN tinggi bisa kalah atau malah keluar dari daftar yang diterima karena masalah jarak. Berburu SMP Negeri di Bandung bener-bener butuh perjuangan, nih.
Bukan Mencari Sekolah Favorit
Dengan sistem 90% zonasi yang
mengabaikan NHUN, banyak
anak ber-NHUN tinggi tidak diterima di SMPN mana pun karena rumah
orangtua mereka (sesuai KK dan KTP)
dianggap terlalu jauh dari sekolah.
Orang-orang di luar Kodya
Bandung, orang-orang yang tidak tahu bagaimana sistem PPDB SMP tahun 2018 ini
di Bandung, banyak yang dengan entengnya berkomentar nyinyir:
“Makanyaaa…
nggak usah ngotot ke SMP Negeri favorit!”
“Ortu
sih gengsi ketinggian, maunya ke SMP favorit aja!”
“Dukung
dong program pemerintah untuk menghapus sekolah favorit! Semua sekolah itu sama
aja.”
Kalimat seperti itu juga
muncul di status seorang selebmedsos.
Duh, Gustiiiii…. Kuingin
berkata kasar jadinya.
Pertama,
SIAPA YANG MENCARI SMP FAVORIT? *capslock sampe jebol*
Para orangtua di Bandung
yang stres karena anak-anak-anaknya tidak diterima di SMPN, yang sampe
demo-demo, yang teriak-teriak di medsos itu bukan mencari SMP Negeri favorit. Mereka
mengikuti peraturan dari Pemkot untuk mendaftar ke SMPN TERDEKAT DARI RUMAH.
Nggak pake lihat-lihat
lagi itu SMPN favorit atau bukan. Yang penting TERDEKAT dari rumah.
SMP-SMP Negeri favorit itu jauhhhh dari rumah mereka. SMP-SMP Negeri favorit itu tidak berada di kawasan permukiman, tidak berada di kawasan padat penduduk.
SMP-SMP Negeri favorit itu jauhhhh dari rumah mereka. SMP-SMP Negeri favorit itu tidak berada di kawasan permukiman, tidak berada di kawasan padat penduduk.
Nyatanya? Di SMPN 31
Bandung saja, di luar radius 331 meter sudah dianggap terlalu jauh. SMP ini
berada di kawasan Binong.
Kedua,
apa salahnya mendaftar ke sekolah favorit?
Jujur aja, sekolah-sekolah
yang dianggap favorit itu memiliki fasilitas dan SDM yang lebih baik. Belum
lagi iklim kompetisi akademis yang lebih terbangun di sekolah favorit.
Bagus memang keinginan
pemerintah tentang:
- semua sekolah itu sama bagusnya, tidak ada sekolah favorit,
- murid-murid pintar harus tersebar merata di semua sekolah, tidak numpuk di satu-dua SMP saja.
Bagus, dengan catatan:
jika dan hanya jika semua SMP memiliki fasilitas dan
kualitas guru yang SAMA. Yang sekarang
kan jomplang banget.
Jadi wajar saja sebagian orangtua masih memilih mendaftarkan anak mereka yang ber-NHUN tinggi ke sekolah favorit.
Jadi wajar saja sebagian orangtua masih memilih mendaftarkan anak mereka yang ber-NHUN tinggi ke sekolah favorit.
Usul untuk Pemerintah
Menutup tulisan panjang ini,
ada beberapa masukan untuk Pemerintah.
1. Tinjau kembali sistem Zonasi 90%.
Sistem zonasi 90% yang mengabaikan NHUN mohon ditinjau kembali. Terbukti, tahun 2018 ini
sistem tersebut menzalimi banyak anak yang sudah susah payah belajar untuk UN.
Belajar di sekolah, pemantapan dengan bapak ibu guru, belajar lagi di tempat bimbel terbaik sampai sore,
latihan soal sendiri di rumah, mengurangi waktu bermain. Mereka ingin mendapatkan
nilai terbaik, ingin membanggakan orangtua.
Tapi nyatanya? Semua kerja
keras mereka sia-sia. SMPN yang tidak favorit pun tidak menerima mereka. Bukan karena nilai mereka kecil, melainkan karena
sistem PPDB menganggap rumah mereka terlalu jauh dari sekolah.
Untuk apa anak-anak dibuat
stres dengan UN kalau pada akhirnya yang diterima di SMPN adalah yang rumahnya
paling dekat dengan sekolah? Hapus aja UN-nya sekalian kalo gitu mah.
![]() |
(catetan: dirundung = di-bully) Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711141347-20-313262/zonasi-ppdb-bermasalah-orangtua-siswa-di-bandung-kelimpungan |
2. Menjaga semangat berkompetisi.
Sistem zonasi tanpa menilai NHUN ini mematikan semangat anak-anak untuk berkompetisi secara sehat. Buat apa susah-susah
belajar kalau yang akhirnya dinilai hanya seberapa dekat jarak rumah ortu
mereka ke sekolah?
“Belajar itu untuk masa
depan yang lebih baik, bukan untuk nilai.”
Betul. Salah satu caranya
adalah dengan melanjutkan pendidikan, kan? Lah ini semangat melanjutkan
pendidikan yang sedemikian kuat dikalahkan oleh posisi rumah yang kurang nempel
dengan sekolahan. Posisi menentukan prestasi gitu, ya, Pak?
Di PPDB yang lalu-lalu sudah ada poin insentif berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah. Poin insentif itu ditambahkan ke NHUN, baru menjadi skor akhir.
Lebih baik seperti itu kalau menurut saya mah. Jarak hanya sebagai faktor tambahan, bukan faktor satu-satunya seperti tahun 2018 ini. Kerja keras anak-anak untuk meraih NHUN terbaik tetap dihargai.
Di PPDB yang lalu-lalu sudah ada poin insentif berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah. Poin insentif itu ditambahkan ke NHUN, baru menjadi skor akhir.
Lebih baik seperti itu kalau menurut saya mah. Jarak hanya sebagai faktor tambahan, bukan faktor satu-satunya seperti tahun 2018 ini. Kerja keras anak-anak untuk meraih NHUN terbaik tetap dihargai.
3. Tambah jumlah SMPN.
Tambah jumlah SMP Negeri di Kodya Bandung dengan memperhitungkan jumlah penduduk di sekitarnya. Di permukiman padat penduduk sepertinya
perlu tuh ada satu SMPN di setiap kelurahan kalau sistemnya masih begini.
Jangan sampai rakyat
disuruh mendaftarkan anak ke SMPN terdekat, tetapi jumlah SMPN yang ada jauh dari
memadai.
Jangan sampai rakyat
disuruh mendaftarkan anak ke sekolah terdekat tapi jarak 332 meter saja sudah
ditendang oleh sistem karena dianggap terlalu jauh.
4. Sekolah swasta pilihan terakhir.
Bagi sebagian orangtua, sekolah swasta adalah pilihan terakhir. Kenapa? Tentu saja karena BIAYA.
Saya menyambut baik kebijakan Pemkot yang membebaskan siswa miskin dari biaya
ini itu untuk bersekolah di SMP swasta. Tapi tolong diingat juga banyak
rakyat yang nggak miskin tapi hidup pas-pasan bin ngepas-pasin.
Buat kalangan begini,
bayangan untuk mendaftar ke sekolah swasta aja udah bikin mules, Pak. Duitnya dari
mana? Bisa bayar pake duit bergambar Sponge Bob atau pake daun kering nggak?
Menyisihkan uang sejak jauh hari untuk mempersiapkan dana pendidikan anak-anak juga bukan hal mudah.
Saya juga kalo banyak duit
mending langsung masukin anak-anak ke sekolah swasta yang bagus.
Tapi boro-boro, deh.
Tapi boro-boro, deh.
Tiap lapor SPT tahunan aja saya selalu ditatap penuh duka oleh pegawai
kantor pajak. “Duh, ini penulis buku kok misqueen amat begini, ya? Rumah nggak
punya, mobil nggak punya, motor nggak punya, laptop juga speknya gini doang….”
Ternyata tulisan saya sudah sepanjang ini. Maaf kalau tulisan
emak bawel yang suka berkaus belel ini jadi ngabisin kuota saking panjangnya.
Emak bawel ini cuma emak-emak
biasa yang kalo beli minyak goreng aja sibuk ngebandingin selisih harga 100-200 rupiah. Cuma seorang emak merangkap bapak dengan dua anak usia sekolah. Yang mules lihat kericuhan PPDB tahun
2018 ini. Yang ikutan nangis waktu lihat anak-anak temennya nggak keterima di
SMPN mana-mana karena posisi rumah yang jauh dari mana-mana.
Emak bawel yang berharap selain
ngomel juga bisa kasih masukan buat perbaikan di masa datang.
Dan sungguh, emak bawel ini berharap solusi yang diberikan bukan: "Nggak dapat SMPN? Bikin sekolah aja sendiri."
Dan sungguh, emak bawel ini berharap solusi yang diberikan bukan: "Nggak dapat SMPN? Bikin sekolah aja sendiri."
Salam,
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
Tulisan yang mewakili perasaan saya... Saya juga miris, hasil UASBN anak saya lumayan 259 dan jarak sekolah jg dekat hanya 900 m tapi terlempar bahkan tidak diterima di pilihan 2 karena jarak, info jalur kombinasi yg seharusnya bisa mengakomodasi anak saya simpang siur menjadikan saya tidak PD mendaftar jalur kombinasi... Yah sudahlah anak saya menjadi korban sistem dan ortu yg "bermain dng jarak" agar dapat diterima
BalasHapus