Begitu beragam kuliner kaki lima di Jakarta. Semua kuliner Indonesia (sepertinya) ada di sini. Sepertinya sih, karena melihat beragam suku dari Sabang sampi Merauke ada di kota ini.
Dulu banget, ketika masih menjadi mbak-mbak kantoran di Jakarta, saya pernah takjub sekaligus hepi banget ketika menemukan buah rumbia.
Wohooo ... ada buah hutan di kota metropolitan? Nggak nyangka banget! Buah rumbia adalah salah satu makanan kesukaan saya semasa kecil di Banda Aceh.
Semenjak meninggalkan Kota Serambi Mekah itu, saya belum pernah makan rumbia lagi. Sampai kemudian menemukannya di Jakarta, tepatnya di sebuah warung Aceh di kawasan Blok M.
Dulu saya biasa menikmati buah rumbia dengan garam. Lebih nikmat lagi kalau dicocol ke pliek u campur sedikit garam.
Amboooi! Rasanya begitu membekas di dalam kenangan.
Rumbia adalah buah dari pohon sagu. Di Aceh, buah rumbia disebut juga buah salak hutan. Dalam bahasa Aceh namanya adalah boh meuria teupeujruk.
Di kompleks rumah dinas ortu saya dulu, ada beberapa rumah yang di depannya tumbuh pohon rumbia. Di depan rumah kami sendiri adanya dua pohon asam jawa yang tinggi besar.
Pliek u yang saya sebut di atas tadi adalah bumbu masak khas Aceh. Terbuat dari ampas kelapa parut yang telah difermentasi, kemudian dikeringkan di bawah panas matahari. Bumbu itu kemudian dipakai untuk berbagai olahan masakan, dari ikan sampai sayuran.
Di Blok M kala itu, sayangnya tidak ada pliek u. Namun, gara-gara saya menanyakan pliek u dan bilang kalau saya pernah lama tinggal di Banda Aceh, saya malah boleh membawa rumbia secara gratis.
Alhamdulillah. Seneng banget!
Kuliner Kaki Lima di Jakarta
Bulan Agustus 2024 saya mengisi acara talkshow di Jakarta Convention Center. Alih-alih memesan kamar di hotel yang direkomendasikan oleh penerbit, saya malah memilih menginap di hotel budget.Baca-baca ulasan di Google sih, di sekitar hotel tersebut ada banyak tempat kulineran. Dan ternyata memang banyak! Dari resto, cafe, kuliner kaki lima berjejer di dekat hotel.
Sempat girang banget waktu lihat tepat di depan hotel ada warung tenda soto Betawi. Ketika melihatnya tutup pada siang hari, saya pikir baru akan buka pada sore hingga malam. Jadi rencananya, selesai acara di JCC kami akan makan malam pakai soto betawi.
Si sulung juga penasaran ingin mencicipi soto Betawi. Dia penasaran karena mendengar cerita saya tentang nikmatnya soto Betawi yang sering saya santap dulu (zaman masih jadi mbak-mbak kantoran di Jakarta).
Sayang seribu sayang, ternyata pada malam hari pun warung itu tutup!
Untungnya rasa kecewa segera terobati di warung Aceh, berselang beberapa meter saja dari warung soto Betawi..
Kuliner Khas Aceh di Jakarta
Melihat abang-abang di warung tenda itu asli orang Aceh, harapan saya untuk menikmati makanan khas Aceh pun melambung setinggi cita-cita.Kami segera memesan mi goreng Aceh, martabak Aceh, dan tentu saja es timun serut. Untuk ketiga menu itu, harga yang saya bayar adalah Rp 53.000
Di daftar menu tertera Mie Bangladesh. Namanya memang menggiring imaji pada kuliner Bangladesh. Namun, ternyata mie Bangladesh ini adalah mi instan dengan bumbu rempah khas Aceh.
Ketika makanan yang kami pesan diantar ke meja, taburan acar bawang merahnya membuat saya semakin yakin akan rasanya yang masih khas Aceh.
1. Martabak Aceh
Martabak Aceh plus acar bawang merah. |
Martabak Aceh adalah kesukaan saya sejak dulu. Martabak Aceh ini berbeda dengan martabak telur pada umumnya.
Biasanya, martabak telur kan lapisan tepung menjadi kulitnya dan adonan telur sebagai isinya. Nah, lain dengan martabak Aceh.
Pada martabak Aceh, lapisan tepung justru berada di antara lapisan telur. Lapisan tepungnya ini serupa dengan cane (canai, roti maryam) tetapi lebih tipis.
Biasanya saya menikmati martabak Aceh ini selapis demi selapis. Yang biasa makan kue lapis selapis demi selapis pasti paham pada sensasi nikmatnya. Hehehe....
Tapi kali ini karena merasa lapar, lelah, dan mengantuk, akhirnya ritual itu saya lewatkan.
Sesuap demi sesuap martabak Aceh plus acar bawang merahnya masuk ke mulut. Ketika lidah merasakan gurihnya telur dan lapisan cane yang empuk, memori langsung terlempar ke sekian masa yang lalu.
2. Mi Goreng Aceh
Mi goeng khas Aceh, lengkap dengan acar bawang merah. |
Mi goreng Aceh menguarkan wangi yang tidak tanggung-tanggung. Terlebih karena kami memesan yang menggunakan udang.
Rasa gurih berempah dari mi goreng menjadi semakin kaya rasa jika dikunyah bareng dengan acar bawang merah yang manis, asam, segar.
3. Es Timun Serut
Es timun serut khas Aceh. |
Es timun yang dalam bahasa Aceh disebut ie boh timon, menjadi penyegar yang harus dinikmati sampai tetes terakhir.
Timun pada minuman ini adalah timun yang sama dengan kondimen yang ada pada mi goreng. Di pasar dan warung sayur banyak nih timun begini.
Untuk menjadi es timun serut yang nikmat, buah timun dibelah memanjang, lalu bijinya disisihkan. Setelah itu, daging buah timunnya diserut.
Timur serut kemudian diberi es batu dan diguyur dengan sirop gula pasir (simple syrup). Penggunaan simple syrup ini membuat aroma segar alami timun serut menyerbu penciuman.
Sayang sekali saya lupa memotret tampilan warung tenda ini. Maklum, sudah pukul 10 malam. Saya keburu lelah dan mengantuk.
Sebagai patokan, lokasi warung Aceh ini hanya sekitar 25 meter dari Hotel Le Green Suite Senayan tempat kami menginap. Hotel tersebut beralamat di Jl. PAM Lama I No. 2B, Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kopi Jalanan
Kopi jalanan yang sedang viral. |
Bagi kami, jika ke luar kota mestilah mampir ngopi-ngopi cantik. Tahun lalu saya mampir di Ol Pops Coffee Bintaro. Kali ini, hm ... mau ngopi di mana, ya?
Eh, pas habis sarapan di hari Minggu sebelum pulang ke Bandung, kami melihat sepeda gerobak Coffee Jago sedang mangkal di pinggir jalan.
Kabarnya sih, kopi ini lagi viral di kalangan anak muda kantoran Jakarta yang pengen tetap ngopi enak tapi juga mesti menghemat gaji biar nggak boncos. Jadi, mumpung lagi di Jakarta, kenapa nggak mencoba?
Beneran murah. Segelas es kopi susu hanya Rp8.000, sedangkan es kopi susu oatside Rp12.000. Rasanya pun tak mengecewakan. Pantes aja banyak yang suka, bahkan sampai viral.
Lokasinya di mana? Nah, mereka ngider dengan sepeda gerobak. Rezeki kami, Minggu pagi itu kebetulan kami melihat mereka mangkal di dekat hotel.
Penutup
Kuliner kaki lima dan kuliner jalanan seringkali memiliki cita rasa yang tak kalah dengan kuliner di resto dan cafe.Tak perlu gengsi untuk kulineran di pinggir jalan. Yang tak boleh dilakukan adalah kulineran di tengah jalan. Bahaya!
Terima kasih sudah membaca sampai selesai.
BalasHapusBaru tau kalo martabak Aceh itu berbeda dengan martabat telur pada umumnya. Asli sih jadi penasaran pengen nyobain ketiga menu tersebut. BTW, itu namanya rezeki bisa dikasih buah rumbia gratis. Kalo saya ke sana dan nanyain bumbu pliek u kira-kira bakal dikasih buah rumbia gratis juga nggak ya? Hahaha 😂
BalasHapusBoleh dicoba, Mas. Cuma masalahnya, warung yang di Blok M itu entah masih ada atau enggak. Udah lama banget, soalnya. Zaman Gus Dur jadi Presiden :)))
HapusMartabak Aceh itu kukira malah telor dadar lho, Kak. Ternyata emang kulitnya tuh malah telornya ya. Mantap sih. Kayaknya aku bakalan lebih doyan martabak Aceh ketimbang martabak biasanya. hehehe
BalasHapusSepintas memang seperti telor dadar, tapi berbeda. Dan tepung itu enaaaak.
Hapus