Menang Lomba Menulis Come On Inspire Bank OCBC NISP



Lomba Menulis kisah inspirasi Bank OCBC NISP

Menang Lomba Menulis - Sebenarnya ini late post. Pengumuman pemenang Lomba Menulis Come On Inspire Bank OCBC NISP ini sudah dilakukan tanggal 19 Agustus 2016. 

Alhamdulillah, tulisan saya tentang Ogest, survivor GBS yang terus aktif berkarya berhasil menjadi salah satu pemenang dalam lomba menulis ini. 

Lomba Menulis yang Berbeda

Lomba Menulis Come On Story ini berbeda dengan lomba - lomba menulis yang pernah saya ikuti. Ini kali pertama saya secara sadar mengikuti lomba menulis yang berujung pada voting.
Kenapa saya suka mengikuti lomba menulis? Karena bagi saya ada 6 Keuntungan Ikut Lomba Menulis
Pada mekanisme lomba sudah dijelaskan bahwa naskah-naskah yang masuk akan diverifikasi dan dinilai lebih dulu oleh dewan juri. 
Sepuluh yang terbaik baru akan masuk ke tahap voting. Dewan juri terdiri dari tiga orang, yaitu Rama P. Kusumaputra (Direktur Bank OCBC NISP), Beny Lumy (Ketua Pengurus Yayasan Diakonia Modern), dan Diah Kusumawardani Wijayanti (Pendiri Yayasan Belantara Budaya Indonesia).
Tanggal 20-an Juli pihak Bank OCBC NISP menelepon saya untuk melakukan verifikasi terkait tulisan saya dan narasumber saya. Berapa lama saya kenal Ogest, ada hubungan kekerabatan atau tidak, kenapa saya nulis tentang Ogest, dan sebagainya. Ada deh setengah jam ngobrol via telepon.
Dari sini pula saya tahu bahwa verifikasi ini adalah tahap kedua penilaian. 

Tahap pertama adalah seleksi administratif. Peserta yang tidak lolos tahap ini ya tidak ditelepon untuk verifikasi.
Ketika membaca karya para peserta lain, ada beberapa cerita yang saya yakin akan langsung tereliminasi. 

Emh...bukan songong, lho, ya. Saya menilai begitu karena tulisan-tulisan tersebut melanggar salah satu persyaratan yang jelas-jelas tercantum. 

Persyaratan itu adalah tidak boleh bercerita tentang diri sendiri atau tentang orang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan penulis.

Tips: Ketika ikut lomba menulis (dan lomba lainnya juga), baca persyaratannya dengan teliti. Kalaupun nanti tidak menang, kekalahan kita tidak konyol.

Ketika terpilih sebagai Top 10 dan harus mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya untuk masuk Top 5, ada beberapa teman yang ragu. Bagaimana kalau ada yang curang memberi suara dengan autolike? 
Di Facebook kan yang seperti ini bukan rahasia lagi. Saya sendiri beberapa kali menemukan status yang menjual like dengan harga tertentu.
Syukurlah hal itu tidak terjadi. Voting tidak dilakukan di Facebook tetapi di microsite comeonstory.com. 

Setelah login (banyak teman saya yang terkendala di sini), barulah mengklik Vote untuk memberikan suara. Makasih banyak ya Teman-teman yang udah bantu voting :)
10 besar lomba menulis kisah inspirasi Bank OCBC NISP
Top 10 dalam Lomba Menulis Come On Inspire Bank OCBC NISP.  Dokter Dani yang kisahnya ada di sebelah saya ternyata adik kelas di SMA 3 Bandung. Juru parkir yang di sebelah saya juga adalah juru parkir di kampus saya dulu, Fikom Unpad.


Saya semakin yakin tidak ada kecurangan autolike ketika melihat perolehan vote saya dan 9 peserta lainnya. Beda-beda tipis. 

Berarti usaha mereka juga kira-kira sama seperti saya. Mengumpulkan donasi voting dari teman ke teman, dari grup ke grup.
Alhamdulillah. Panitia melakukan seleksi ini sesuai prosedur dan meminimalkan potensi kecurangan. Love, love, love banget deh.

Masiih galau mau ikut lomba yang seperti apa? Baca ini deh: Ikut Lomba Menulis Berdasarkan Penilaian Juri atau Voting?


Hadiahnya Pun Berbeda

Bagi saya, Lomba Menulis Come On Inspire Bank OCBC NISP ini berbeda karena hadiahnya. Total hadiah ada Rp 75 juta. 

Wow! Hadiah sebesar itu tidak untuk penulis yang masuk Top 10 saja. Persentase terbesar hadiah tersebut justru untuk inspirator, orang yang dikisahkan oleh penulis.
Di tahap Top 10, penulis mendapat Rp 1 juta dan inspirator Rp 4 juta. Kalau berhasil masuk Top 5, hadiahnya menjadi Rp 2,5 untuk penulis dan Rp 7,5 juta untuk inspirator.
Saya suka ini. Saya suka karena inspirator mendapat hadiah yang besar. Inspirator tidak ditempatkan sebagai objek yang sekadar dikisahkan tanpa diapresiasi apa-apa.
Saya curcol dikit, ya. Sudah lama saya ingin melakukan sesuatu untuk Ogest. Bukan, bukan karena kasihan. Ogest nggak suka dikasihani (dia sukanya dikasih bakso, hehe....).
Perasaan saya selalu tercampur aduk seperti semangkok sop buah setiap kali melihat Ogest perform. Dalam kondisi lumpuh, dia tetap berkarya dan memotivasi orang lain. 

Dia juga aktif melakukan sosialisasi tentang GBS yang membuatnya lumpuh 25 tahun yang lalu. Dia pun aktif memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas. Salah satu aktivitas Ogest pernah saya tulis di Ogest dan Sosialisasi GBS.
Saya tidak mengasihani Ogest (karena dia nggak suka dipelakukan seperti itu). Saya memilih menulis tentang Ogest karena dia memotivasi saya. Karena semangatnya, karena kesantunannya. 
Sebagai penulis, baru ini yang bisa saya lakukan. Semoga Allah meridai.


Ogest, Menebar Inspirasi dari Kursi Roda

Berikut ini tulisan yang saya sertakan dalam Lomba Menulis Come On Inspire Bank OCBC NISP. Aslinya bisa dilihat di microsite comeonstory.com. Saya kopas ke blog ini untuk dokumentasi. 
Pengalaman aja, sih. Dulu-dulu kalau ikut lomba menulis di microsite, sekian waktu setelah periode lomba berakhir, microsite-nya tidak bisa dibuka lagi. Padahal kadang-kadang saya kangen dengan tulisan saya di sana😀
 
Lomba Menulis Bank OCBC NISP
Top 10 dalam Lomba Menulis Come On Inspire Bank OCBC NISP. 

"Saya mengenal Ogest lima tahun yang lalu, saat menangani dua naskah karya Risma El Jundi. Salah satunya adalah memoar tentang Ogest yang sedang dalam proses menunggu jawaban akan diterbitkan atau tidak.
Siapa Ogest? Pada tahun 1980an Ogest adalah seorang penyanyi cilik. Ia sering menjuarai lomba menyanyi anak-anak. Jalan untuk menjadi penyanyi profesional pun terbentang. Namun, kehidupannya berubah total saat ia duduk di bangku SMA tahun 1991. Virus Guillain Barre Syndrome alias GBS menyerangnya. Dalam hitungan menit, benar-benar dalam hitungan menit, tubuh tegap atletis Ogest lumpuh.
Kesalahan diagnosis dan keterlambatan penanganan membuat Ogest harus melupakan hobinya berolahraga, termasuk panjat tebing. Jangankan memanjat tebing, menggerakkan tubuh pun ia tak bisa lagi. GBS membuat Ogest lumpuh permanen. Hanya leher dan kepala yang bisa digerakkan. Tangan kirinya bisa digerakkan tetapi sangat terbatas.
Pertama kali bertemu dengannya di Mal Paris van Java, ia bercerita tentang keinginannya agar kisah hidupnya bisa terbit dalam bentuk buku. Bukan karena ingin terkenal tapi agar informasi tentang GBS dan bahayanya tersebar luas.
Air mata saya hampir tumpah ketika mendengar Ogest bersyukur GBS itu tak sampai menyerang pita suaranya. Bersyukur dalam kelapangan sungguh mudah. Tapi dalam kondisi seperti Ogest?
Ogest sangat mencintai dunia tarik suara. Dalam keadaan fisiknya yang tak berdaya, ia masih bersemangat menyanyi, mencipta lagu, rekaman, dan mengajar vokal. Ah, bisakah kamu bayangkan itu?
Tahukah kamu bagaimana lelaki yang kini menetap di Cijerah, Cimahi, ini menulis lirik lagu-lagu ciptaannya? Ia menulis dengan cara meninju keypad ponselnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena telapak tangannya mengepal kaku. Tak bisa ia buka meskipun ingin.
Beberapa bulan setelah pertemuan di PVJ itu, saya mendampingi Risma talkshow novel Ouhibouki Areta di MQTV. Di sanalah saya mendengar Ogest menyanyikan lagu ciptaannya yang menjadi soundtrack novel tersebut. Suaranya memang tak lantang lagi akibat GBS. Namun, merdunya menggetarkan kalbu.
Tahun-tahun berikutnya saya berjumpa Ogest dalam berbagai kesempatan. Launching buku, talkshow, sosialisasi GBS, dan sebagainya. Saya mengusahakan datang jika tahu Ogest ada acara di Bandung. Duduk mendengarkan Ogest berbicara dan menyanyi, bersilaturahmi dengan istri, sahabat, dan kerabatnya.
Pada saat-saat itu selalu ada percikan semangat dan kehangatan di dalam hati. Lihat! Ogest yang lumpuh karena GBS saja tak pernah berhenti berkarya dan berbuat kebaikan. Saya malu, sangat-sangat malu jika masih saja banyak mengeluh, mudah berputus asa, tidak bersyukur, dan malas berkarya.
Dari laki-laki 42 tahun ini saya belajar banyak hal. Tentang semangat pantang menyerah, semangat untuk terus berkarya, kepasrahan, rasa syukur, dan persahabatan.
Dan lelaki yang telah 25 tahun lumpuh karena GBS ini terus menebar semangat, inspirasi, dan aura positif dari atas kursi rodanya."


Salam, 

Triani Retno A
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.