Sudah Tahu Begini, Kenapa Tetap Menulis?


Alasan kenapa tetap menulis

Dunia menulis terlihat seksi dan keren. Sebenarnya tak selalu begitu, sih. Banyak gonjang-ganjingnya. Namun, dengan semua roller coaster dunia kepenulisan itu, tak sedikit yang bertahan.

Mungkin mengherankan, ya. Sudah tahu begini, kenapa tetap menulis?


Bertahan Tetap Menulis

Saya termasuk yang bertahan tetap menulis. Bukan baru satu-dua tahun saya menempuh jalan ini. Jungkir baliknya, pasang surutnya, sudah saya alami. 

 
Kondisi sekarang (buku cepat diobral, majalah dan koran berhenti terbit) hanya membuat saya lebih realistis dan bukan berhenti menulis. 

Sejak awal, bagi saya menulis bukanlah sekadar menulis novel atau cerpen. Itu juga yang saya tekankan setiap kali mengisi acara kepenulisan.

Bagi saya, berhenti menulis berarti tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Allah. Jadi, di tengah keasyikan berjualan ini itu, saya tetap menulis.



Jadi, Kenapa Tetap Menulis?

Dari obrol-obrol dengan teman-teman penulis dan mengamati sana-sini, ini alasan kenapa banyak yang tetap menulis apa pun yang terjadi.

1. Sumber nafkah.

Masih banyak yang heran atau malah terbahak ketika tahu temannya menjadikan menulis sebagai sumber nafkah. 

Padahal apa anehnya? Tanya saja ke kantor pajak, berapa persen pajak yang dikutip dari karya seorang penulis buku. Itu artinya, penulis adalah sebuah profesi. Boleh juga baca di Pajak Royalti Penulis.

Bagi orang yang menjadikan menulis sebagai sumber nafkah, gonjang-ganjing di dunia penulisan (terutama media cetak) adalah tantangan. 

Tantangan untuk menghasilkan karya terbaik. Tantangan untuk menulis di media lain (blog, web, e-book, televisi, dsb). Tantangan untuk mencari peluang mendapatkan uang dengan menulis di internet.

Tantangan itu harus dijawab karena ada anak, istri, adik, orangtua, anak asuh yang harus dinafkahi.


2. Katarsis.

Kita buka KBBI sebentar. Di sana disebutkan, dalam lingkup psikologi katarsis berarti cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas. 

Dalam lingkup sastra, katarsis berarti kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis.

Jelas, ya. Menulis, termasuk menulis kisah sejati, bisa menjadikan kita lebih lega, lebih tenang, dan tetap waras ketika dihantam masalah. Itu pula sebabnya banyak orang tertarik menulis novel tentang pengalaman hidup.


3. Hobi.

Menurut KBBI, hobi adalah kegemaran, kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama.

Namanya juga hobi. Penjualan buku jeblok, honor nggak dibayar, dan sebagainya nggak akan membuat pehobi nulis berhenti menulis. 

Baginya, menulis adalah hobi yang menyenangkan. Jadi, untuk apa berhenti menulis?

Kenapa tetap menulis novel
Curiga dua kucing ini sedang merencakan minta japrem royalti Ailurofil.


4. Ibadah.

Ada juga yang menulis untuk ibadah, menyebarkan kebaikan, beramar makruf nahi mungkar.


5. Eksistensi.

Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada.” Begitu kata Descartes, seorang filsuf dari Prancis. Bagi mereka yang memilih tetap menulis, bisa jadi “aku menulis maka aku ada”.

Kalau kata Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama tidak menulis dia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah.”

Idealnya, sih, menulis untuk dibaca oleh sebanyak mungkin orang supaya manfaatnya tersebar seluas mungkin.


6. Tuntutan pekerjaan.

Untuk kalangan tertentu, menulis adalah tuntutan pekerjaan. Tulisan dimuat di media massa atau terbit dalam bentuk buku berarti mendapat sejumlah cum atau poin. Poin itu berguna untuk kenaikan pangkat, jabatan, dan atau gaji.


7. Tidak punya pilihan lain.

Ada juga yang pasrah. “Ya abis, kalau nggak nulis mau ngapain lagi?”  

Satu orang bisa jadi punya lebih dari satu alasan kenapa terus menulis. Kalau kamu, kenapa terus menulis? 


Salam,

Triani Retno A
www.trianiretno.com 
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.