Lebaran, Ketika Silaturahmi Tak Lagi Menyenangkan


Lebaran tak selalu menyenangkan


Bersilaturahmi dan saling memaafkan menjadi satu paket dalam momen Idul Fitri. Pulang kampung. Berkunjung ke rumah sanak saudara. Berkumpul dengan para sahabat lama.

Bisa diprediksi, foto-foto makanan lezat dan keriaan berkumpul akan memenuhi kabar berita. Foto-foto keluarga yang tersenyum lebar akan berseliweran. 

Salah? Tidak. Silakan berbagi bahagia.

Namun, tahukah, ada yang tak berbahagia. Ada yang langkahnya terasa berat untuk datang berkunjung. Ada yang harus menguatkan hati untuk ikut berkumpul. 



Ada yang merasa lebih baik diam saja di rumah menonton acara di televisi. Atau menyimak laporan langsung dari berbagai penjuru bumi melalui media sosial.

Tidak. Mereka bukan antisosial. Mereka bukannya tak suka bersilaturahmi. Mereka bukannya tak rindu berkumpul. 

Mereka hanya sedih. Mereka hanya gundah. Sedih dan gundah jika lagi-lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul:

Pertanyaan-pertanyaan perusak silaturahmi
Sekepo itukah kita?


Perhatian atau Kepo?

Sebenarnya, apa  pentingnya bertanya seperti itu? Sekadar basa-basi, sok perhatian, atau kepo akut? Berapa banyak yang bertanya sekaligus memikirkan solusinya?

Hari-hari belakangan ini banyak beredar meme atau tips trik di social media. Apalagi kalau bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
  • Jika ditanya kapan nikah, bilang saja jodohmu belum lahir.
  • Jika ditanya kapan lulus, bilang saja tenagamu masih dibutuhkan sama dekan dan rektor, jadi belum boleh lulus.
  • Jika ditanya kenapa kamu hamil lagi, bilang saja itu karena pak suami nggak mungkin hamil.
  • Jika ditanya kenapa kamu nggak hamil lagi, tanya balik kapan dia mau mati.

Tuh, lama-lama jadi sarkas kan.


Lebaran, Kenapa Malah Melukai?

Meski sering ditanggapi sambil tertawa atau bercanda, sangat bisa jadi pertanyaan kita menorehkan luka di hati teman atau saudara yang kita tanya. 

Luka yang coba ditutupi dengan senyum dan canda. Sedih yang ditelan saja sendiri karena sungkan pada kita yang berposisi lebih tua atau lebih tinggi secara strata sosial. 

Perih yang disimpan saja karena tahu tak ada gunanya menjelaskan yang sebenarnya. 

Hati yang terluka
Hati yang terluka (Foto dari pixabay.com)

Mana kita tahu jika hati mereka menangis karena merasa terzalimi oleh kekepoan kita.

Kita sudah menikah. Tapi siapa bisa menjamin anak keturunan kita akan semudah kita dalam berjodoh dan menikah?

Kita sudah punya anak yang sehat. Tapi siapa bisa menjamin mereka kelak akan mudah hamil?

Kita (yang perempuan atuhlah) hamil segera setelah menikah. Siapa menjamin kelak anak perempuan kita pun akan begitu? Bagaimana jika tak kunjung hamil setelah 10-15 tahun menikah?

Kita kepo akut ketika mendengar ada kerabat bercerai lalu mengorek-ngorek cerita tentang itu (yang bisa jadi membuat luka hatinya berdarah lagi). Siapa menjamin rumah tangga kita akan langgeng sampai maut memisahkan?

Kita tidak tahu ikhtiar apa saja yang sudah mereka lakukan. Kita hanya bertanya dan bertanya dengan kekepoan tingkat tingkat. Tak membesarkan hati, apalagi memberi solusi. 

Kita hanya bertanya dan bertanya yang nantinya kita jadikan rumpian di tempat lain.



Silaturahmi Seharusnya Menyenangkan

Silaturahmi seharusnya bersuasana menyenangkan. Bukannya bikin seseorang ingin  mencari pintu Doraemon dan kembali ke zaman dinosaurus dan mammoth yang tak pernah kepo.

manusia purba
Mau lebaranan di zaman prasejarah aja? (Foto dari pixabay.com)





















Silaturahmi seharusnya mendekatkan hubungan persaudaraan. Bukannya malah menyalakan api di dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa berkobar dan menghanguskan.

Jika tak bisa memberi solusi, tak usah kepo bertanya-tanya.

Jika pun tak terhindar untuk bertanya atau berada dalam situasi ada orang lain bertanya serupa itu, ucapkanlah kata-kata yang membesarkan hatinya.

Ucapkan doa agar Allah memudahkan segala urusannya. Berikan kata-kata penyemangat agar ia terus berharap pertolongan Allah.

Doa baik dan buruk akan kembali pada kita.

Selamat bersilaturahmi,
Dari saya, yang juga sering menerima pertanyaan-pertanyaan menyebalkan seperti itu.


Triani Retno A
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.