Peredaran
minuman keras (miras) di Indonesia semakin memprihatinkan. Memperoleh minuman
ini ternyata tidak sesulit yang dikira orang awam.
Di supermarket dan
minimarket pun ada. Dipajang di rak yang sama dengan minuman ringan nonalkohol
dan dapat dibeli oleh siapa saja (asalkan bisa membayar).
Akibatnya,
konsumen miras pun semakin banyak, termasuk di kalangan remaja.
Ahli forensik
terkemuka Indonesia, dr. Abdul Mun’im Idries,
Sp.F., menyebutkan bahwa alkohol harus
lebih diwaspadai karena lebih mudah dan murah diperoleh dibandingkan morfin,
heroin, ganja, atau ekstasi. Dampaknya pun tak main-main. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Banay di Penjara Singsing terungkap bahwa 60% kasus
pembunuhan terjadi karena pelakunya mengonsumsi minuman beralkohol. (dr. Abdul Mun’im Idries,
Sp.F. Indonesia X-Files. 2013)
Resensi buku lainnya:
Peredaran Miras
Keprihatinan
akan meluasnya peredaran miras dan dampaknya ini pula yang mendorong Fahira Idris
menggagas buku Say: No, Thanks.
Saat launching buku Say: No, Thanks pada awal Maret 2014, Ketua Gerakan Nasional Antimiras (GeNam) ini menyebutkan bahwa "Tujuan utama buku ini adalah agar adik-adik penerus kita nanti bisa dengan
bangga mengatakan no, thanks atau menolak saat disodori dan ditawari
miras." (http://www.republika.co.id/berita/senggang/sosok/14/03/03/n1ut7h-fahira-luncurkan-buku-anti-miras )
Buku ini memaparkan banyak hal seputar miras, dari sejarah miras hingga dampak mengonsumsi miras.
Buku ini memaparkan banyak hal seputar miras, dari sejarah miras hingga dampak mengonsumsi miras.
Ternyata miras sudah dikenal sejak ribuan tahun Sebelum Masehi, misalnya di Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan Babylonia. (halaman 26-30).
Di Indonesia, miras ala Indonesia dapat ditemui di berbagai daerah. Misalnya Cap Tikus (Manado) yang dibuat dari sagoer, yaitu cairan yang disadap dari pohon enau dan mengandung kadar alkohol sekitar 5%. Ada pula tuak (Sumatra Utara), arak Bali, Sopi (Maluku), Lapen (Yogya), dan Cukrik (Jawa Timur).
Di Indonesia, miras ala Indonesia dapat ditemui di berbagai daerah. Misalnya Cap Tikus (Manado) yang dibuat dari sagoer, yaitu cairan yang disadap dari pohon enau dan mengandung kadar alkohol sekitar 5%. Ada pula tuak (Sumatra Utara), arak Bali, Sopi (Maluku), Lapen (Yogya), dan Cukrik (Jawa Timur).
Kadar alkohol dalam minuman tersebut bervariasi hingga 98% (halaman 31-33). Peredaran miras-miras
lokal tak kalah mengkhawatirkan dibandingkan miras pabrikan besar.
Windi
Teguh, seorang blogger yang karyanya ada dalam buku ini, mengisahkan bahwa
ketika bertugas ke Rantau Prapat ia melihat beberapa remaja dan anak-anak
meminum tuak dengan bebasnya.
Bahkan seorang bapak di sana mengatakan bahwa ia memberikan tuak pada
istrinya yang baru melahirkan agar ASI-nya banyak. (halaman 153-154)
Yang menarik, blogger lain--Abdul Kholik--memaparkan di halaman 55 bahwa larangan mengonsumsi miras ternyata tidak hanya ada dalam agama Islam tetapi juga agama Kristen Katholik dan Protestan (Alkitab, Korintus 6: 10), Hindu (Kitab Slokantara, Sloka 16), Buddha (buku Paritta Suci: 30), dan Kong Hu Cu (Kitab Mengzi jilid IV B Li Lo 30.0).
Yang menarik, blogger lain--Abdul Kholik--memaparkan di halaman 55 bahwa larangan mengonsumsi miras ternyata tidak hanya ada dalam agama Islam tetapi juga agama Kristen Katholik dan Protestan (Alkitab, Korintus 6: 10), Hindu (Kitab Slokantara, Sloka 16), Buddha (buku Paritta Suci: 30), dan Kong Hu Cu (Kitab Mengzi jilid IV B Li Lo 30.0).
Berbagai
kasus nyata dipaparkan di dalam buku yang juga berisi tulisan 13 blogger
pemenang Lomba Blog AntiMiras tahun 2013 ini.
Dari kasus pencurian kotak amal
hingga pembunuhan. Selain
memicu tindak kriminalitas, mengonsumsi miras juga merusak tubuh.
Bab “Alkohol
Drag Me to Hell” memaparkan secara gamblang efek buruk miras pada liver. "Sel-sel liver yang tadi meradang dan
berisi asam lemak lama-lama mati dan kabar gembiranya adalah ‘sel liver kamu
tidak bisa regenerasi sempurna’.” (halaman 53)
Lalu bagaimana cara menghindari miras? Atau, bagaimana jika ingin berperan aktif sebagai pejuang antimiras? Buku Say: No, Thanks ini memberikan jawaban yang sangat jelas mengenai hal tersebut.
Lalu bagaimana cara menghindari miras? Atau, bagaimana jika ingin berperan aktif sebagai pejuang antimiras? Buku Say: No, Thanks ini memberikan jawaban yang sangat jelas mengenai hal tersebut.
Resensi buku lainnya:
Komunikatif
Ditujukan
kepada pembaca berusia remaja, Say: No, Thanks disajikan dengan bahasa yang
ringan, renyah, dan komunikatif. Keseriusan Fahira Idris terlihat dari dua orang yang digandengnya sebagai co-writer.
Yang satu adalah Sofie Beatrix, seorang penulis yang telah menghasilkan lebih
dari 70 buku. Yang satu lagi adalah dr. Tamam Jauhar. Jadilah buku yang
berbahasa ringan tetapi berbobot.
Saya jadi membayangkan jika tema yang diangkat dalam Say: No, Thanks ini dituturkan dalam bentuk novel.
Saya jadi membayangkan jika tema yang diangkat dalam Say: No, Thanks ini dituturkan dalam bentuk novel.
Misalnya tentang seorang remaja yang nyaris kehilangan masa depan karena menjadi pecandu miras (kira-kira seperti kisah Drew Barrymore), tentang seorang remaja yang hidup di lingkungan miras, atau tentang cewek yang jatuh cinta tapi ternyata si cowoknya itu penggemar miras. Pasti menarik.
Novel dengan kekuatannya mengeksplorasi konflik dan mengaduk-aduk emosi, memungkinkan pesan antimiras yang hendak disampaikan tertanam dalam di benak dan hati pembaca, tentu saja tanpa kesan menggurui.
Dari segi tata letak, halaman-halaman
isi yang dibingkai warna merah membuat mata lebih terjaga (meski agak terasa silau) ketika membaca buku
ini. Mungkin ini sekaligus simbol yang
mengisyaratkan bahaya miras bagi kehidupan kita.
Ada
beberapa kelemahan yang cukup mengganggu dalam buku ini. Pertama, banyaknya typo. Beberapa di antaranya
adalah: digala- kin (halaman 21), sekedar (halaman 46), me- ngonsumsi (halaman 141), golo- ngan (halaman 142).
Kedua, kalimat yang tidak lengkap.
Atau kalau kamu malu, sms ke , beri data 5 nama…. (halaman 163) --> sms ke mana?
Ketiga,
paragraf yang terpotong.
….. AG galau soalnya nggak punya duit buat pesta
Miras
sama temen-temennya. (halaman 110) --> ini diletakkan di paragraf baru, padahal masih
merupakan bagian dari kalimat di paragraf sebelumnya.
Keempat,
beberapa tulisan yang berasal dari blog peserta
lomba kurang nyaman dibaca karena kalimat yang terlalu panjang, misalnya
yang terdapat di halaman 56-59.
Ketidaknyamanan
itu juga ada di halaman 15. “Cekidot…. Agak gue besarin, yah, tulisannya
biar nggak pegel.”
Di blog asalnya,
kalimat-kalimat di bawah kalimat tersebut dibuat dengan huruf yang berukuran lebih
besar. Namun, di buku ini tidak ada perbedaannya. Sepertinya lebih bagus jika kalimat
tersebut dihapus saja.
Lepas dari beberapa kelemahan kecil tersebut, buku Say: No, Thanks
ini sangat patut dibaca oleh remaja dan siapa pun yang peduli pada
bahaya miras di kalangan remaja, serta peduli pada masa depan remaja.
Masa depan mereka adalah masa depan bangsa kita. So, katakan tidak pada miras.
Judul : Say
No, Thanks
Penulis : Fahira Idris
Co Writer : Sofie Beatrix dan dr. Tamam Jauhar
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Cetakan pertama, 2014
Tebal : viii + 220 halaman
ISBN : 978-602-03-0324-6
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih sudah berkunjung. Semoga mendapat manfaat dari tulisan di blog ini.