Mendikbud Baru dan Emak Galau



Mendikbud Baru


“Pak Anies Baswedan diganti!”

Saya sedang merekap pembelian buku di lapak online ketika kakak saya berkata begitu. Kebetulan kemarin siang dia sedang ke rumah. Biasa, menitipkan anak bungsunya.

Di TV memang sedang ada pengumuman penggantian beberapa menteri. Sayanya aja yang nggak ngeh karena memang jarang nonton TV. Heeeh, gimana … gimana? Pak Anies diganti? 




Mendikbud Baru

Saya jelas tidak dihubungi oleh Presiden Jokowi untuk diminta menjadi menteri baru. Halah! Memangnya saya siapa? 

Bukan itu yang membuat saja jadi galau bin baper. Saya galau karena pergantian Mendikbud ini tepat ketika tahun ajaran baru dimulai. Galau karena…?

Iyesss! Galau karena khawatir kurikulum pendidikan pun akan tiba-tiba diganti. Galau karena cemas buku-buku pelajaran buat anak-anak akan diganti. Yang satu ini bukan rahasia lagi, kan?

Ganti menteri = ganti kurikulum
Ganti kurikulum = ganti buku paket.
Ganti buku paket = biaya ekstra.

Lah, satu kurikulum aja buku paketnya bisa gonta-ganti tiap tahun. Boro-boro bisa dilungsurkan ke adiknya. 

Waktu masih bekerja di sebuah perpustakaan boarding school (yang bayarannya per bulannya lebih mahal daripada gaji saya), buku-buku paket yang terbasikan oleh perubahan kurikulum sukses menuh-menuhin rak. 

Belum lagi buku-buku paket drop-dropan yang mulus kinyis-kinyis karena yang dipakai justru buku paket yang lain.

Saya ibu dua anak. Si sulung yang kelas 9 untungnya dipinjami buku-buku paket dari sekolah. Hanya buku paket Bahasa Sunda yang harus beli sendiri. Harganya sekitar Rp 53.000. 

Iya, untuuung banget. Soalnya sekarang dia ikut bimbel terbaik di luar sekolah yang biayanya jutaan rupiah (untung boleh dicicil tanpa bunga, jadi bebas riba :p). Kebayang kan pusingnya kalau harus membeli semua buku paket sekaligus?

Nah, si bungsu yang SD ini. Akhir pekan lalu ibu guru memberi daftar buku-buku kurikulum 2013 yang harus dibeli. Dari jilid 4a sampai 4i, plus buku Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Sunda. 

Total berjumlah ratusan ribu rupiah. Tapi karena buku-buku itu memang dibutuhkan dalam proses KBM, Senin (25 Juli) saya membeli buku-buku itu.

Dua hari setelah mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk membeli buku itu, tiba-tiba Mendikbud diganti.

Haduuuuh…! Hati saya langsung ketar-ketir. Ini ganti Mendikbud … kira-kira bakal ganti buku paket lagi nggak? 

Kalau tahu-tahu diganti, pemerintah mau nggak memberikan buku-buku pelajaran itu secara gratis pada murid-murid? 

Atau ... mau nggak mengganti uang yang sudah telanjur dikeluarkan para ortu seperti saya untuk membeli segambreng buku paket di awal tahun ajaran baru? 

Buku-buku paket yang basi karena perubahan kurikulum, kan, kalau dijual lagi paling-paling jatuhnya jadi seribu rupiah per kilogram. 

Kalau nggak mau, plis atuhlah jangan sampai ada gonta-ganti buku pelajaran. Bagi orang kecil (kecil ekonominya, bukan bodinya) seperti saya, jumlah itu besaaar. :’(

Bukannya nggak mau keluarin duit buat beli buku. Soklah lihat ke rumah saya. Buku koleksi kami numpuk di meja, di rak buku, di ruang tidur. 

Pemandangan wajar sih karena saya penikmat dan pekerja buku. Suka membaca buku, mencari nafkah dari menulis, mengedit, dan berjualan buku. Omong-omong soal buku dan anak-anak, silakan mampir ke tulisan saya Berliterasi Sejak dari Rumah dan Membentuk Pribadi Berintegritas.

Kucing-kucing saya pun suka buku. Paling tidak, mereka ikhlas-ikhlas saja menjadi model gratisan untuk promosi buku-buku saya.

buku baru
Kucing-kucing berbakti sedang menjadi model iklan novel baru meowmy. :D

Jadi, masalahnya bukan nggak mau beliin buku pelajaran untuk anak. Saya tipe emak yang lebih gampang ngeluarin duit buat beli buku daripada buat beli baju baru

Masalahnya, bete banget kan kalau udah beli buku pelajaran mahal-mahal trus nggak terpakai hanya gara-gara ada Mendikbud baru lalu mendadak ganti kurikulum? Mubazir banget. Masalahnya lagi, kalau beli buku pelajaran yang baru kan mesti pakai duit juga.

Di situlah saya sebagai ibu dua anak merasa galau.


Terima Kasih, Pak Anies

Di luar galau kalau-kalau harus ganti buku paket lagi (padahal baruuuu aja beli), saya baper banget karena Pak Anies Baswedan diganti. Duh, kenapa diganti ya? 

Sebagai orang awam, saya merasa Pak Anies sudah di posisi yang tepat. Jauh sebelum menjadi Mendikbud, Gerakan Indonesia Mengajar yang beliau gagas sudah menjadi bukti kepedulian beliau pada pendidikan hingga ke pelosok.

Pak Anies yang sangat mendukung gerakan literasi, Pak Anies yang membuat para penulis semangat berkarya, Pak Anies yang menggalakkan gerakan membaca 15 menit sebelum proses KBM dimulai di sekolah-sekolah, Pak Anies yang mendorong anak-anak berprestasi di luar urusan akademis.

"Kemampuan menulis sangat penting. Bukan berarti harus menjadi penulis. Berkiprah di bidang apa pun, kemampuan menulis akan menjadi pengungkit yang luar biasa. Sekolah seharusnya mengangkat ekspresi siswa, bukan malah membuat para siswa kehilangan ekspresi. Menulis merupakan salah satu cara untuk berekspresi." (Anies Baswedan saat memberikan sambutan dalam acara puncak Apresiasi Sastra Siswa Sekolah Dasar 2014)  Selengkapnya bisa dibaca di Catatan Kecil dari KPCI.

Pak Anies yang menghapus MOS karena MOS kerap melecehkan siswa baru dan menyusahkan ortu dengan tugas-tugas geje. 

Pak Anies yang mendorong para orangtua untuk lebih memperhatikan pendidikan anak-anak mereka sekaligus menumbuhkan kedekatan dengan gerakan mengantar anak di hari pertama masuk sekolah. 

Pak Anies yang berusaha menyederhanakan urusan birokrasi di kementerian yang beliau pimpin.

Terima kasih sudah menjadi Mendikbud yang peduli pada anak-anak kami, Pak Anies. Selamat berjuang di tempat yang baru. Mutiara akan tetap mutiara di mana pun ia diletakkan.

Anies Baswedan
Saya dan rekan-rekan juri Apresiasi Sastra Siswa Sekolah Dasar 2014 bersama Mendikbud Anies Baswedan.


Salam, 

Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.