
Kalau si
bungsu mah pengin jalan-jalan aja. Dia pengin ngerasain mudik. Sayangnya kami
nggak punya tempat yang bisa dijadikan tujuan mudik. Nah, kalau ke Jatinangor
kan udah lintas kota. Dari Kodya Bandung, masuk ke Kabupaten Bandung, baru deh
masuk ke Jatinangor di Kabupaten Sumedang. :D
Tapi,
setelah sampai di Jatinangor, mereka malah lapar. Serasa perjalanan ke luar
kota banget, kali, ya.
Untungnya,
Jatinangor ini kawasan kampus. Berderet-deret kampus perguruan tinggi di sini.
IPDN, Ikopin, Unwim, ITB, dan Unpad. Karena itu, banyak pilihan tempat makan
dengan harga terjangkau di sini.
Ayam Bakar Mas Mono
Meski
banyak pilihan, nggak mudah memilih tempat makan kalau membawa dua bocah ini.
Yang satu penginnya apaaa, yang satu lagi apa. Tapi akhirnya mereka sepakat
untuk makan ayam bakar.
Kami
masuk, deh, ke Ayam Bakar Mas Mono. Sepi.
Mungkin karena para mahasiswa sedang libur. Di tempat parkir sih terlihat dua
mobil dengan gundukan barang di atapnya, khas pemudik.
Karena
namanya “Ayam Bakar Mas Mono”, pasti dong ayam bakar yang menjadi menu
andalannya.
Saya
langsung memesan paket ayam bakar Mas Mono. Si bungsu semula memilih ayam kremes tapi
ternyata sedang kosong. Nasi goreng kencur yang diinginkan si Kakak juga belum
tersedia (statusnya masih coming soon). Jadi, mereka pun ikut memilih
ayam bakar Mas Mono.
Huehehe…
baru kali ini pesanan kami sama semua. Biasanya kan beda-beda supaya bisa
paicip-icip. Itu namanya wiskul paket hemat :D
Tips wiskul paket hematKalau bersama teman atau keluarga, pesan makanan yang berbeda-beda. Jadi, bisa saling mencicipi. Cara ini tidak hanya hemat tetapi juga bisa membantu kita untuk tidak makan berlebihan atau malah sebaliknya, tidak menghabiskan makanan.
Sambil
menunggu hidangan tersaji, saya dan si bungsu shalat Zuhur dulu. Pengalaman
saya sih, kalau pesan ayam bakar tersajinya cukup lama.
Untuk
ukuran bangunan yang digunakan oleh rumah makan Ayam Bakar Mas Mono ini,
musalanya cukup lapang. Sayang, letak sajadah gulungnya yang seperti karpet tidak pas mengarah ke
kiblat. Kalau nggak lihat tanda panah penanda kiblat di langit-langit, bisa
salah arah deh.
Ketika
mengambil mukena, ada yang menarik perhatian saya. Di whiteboard tertempel dua
lembar kertas. Yang satu surat edaran dari pemilik rumah makan cabang
Jatinangor ini. Isinya imbauan para pegawai untuk senantiasa melaksanakan
shalat fardhu dan shalat dhuha. Satu lembar lagi adalah daftar presensi shalat
dhuha.
Hm … milik
siapa, sih, rumah makan ini sebenarnya? Tidak berlebihan dong kalau saya
bertanya begini. Teringat pengalaman ketika buka puasa bareng dua minggu
sebelumnya di sebuah rumah makan di Bandung. Di sana para pegawainya bahkan
tidak sempat melaksanakan shalat Magrib.
Nikmatnya Ayam Bakar
Ternyata,
makanan yang kami pesan datang tanpa pakai lama. Ketika saya dan si bungsu
kembali ke meja nomor 05, makanan dan minuman pesanan kami sudah terhidang.
Siap untuk difoto eh … disantap :D
Porsi
makanannya kecil. Ya nasi, ayam, maupun lalapnya. Mungkin karena itu dijual
murmer, Rp 17.000 untuk paket berisi nasi, ayam bakar, lalap, dan sambal bajak.
Baca Juga: MamaMimi, Resto Mungil di Bandung Timur
Untuk
saya, sih, malah pas. Saya kalau makan memang sedikit. Makanya tiap kali
ngumpul sama teman-teman lama atau dengan sesama ibu-ibu, mereka sering ribut
nyuruh saya makan. Hahaha… punteeen. Saya penganut ajaran “makan secukupnya dan
berhenti sebelum kekenyangan”.
Untuk si
Kakak yang pengin makan-enak-tanpa-takut-gendut porsi ayam bakar Mas Mono ini juga pas. Buat si bungsu?
Ukuran pas buat dia adalah kalau bisa menghabiskan satu porsi sendiri.
Ukurannya
memang mungil tapi rasa ayam bakarnya bisa diacungi jempol. Saya suka ayam
bakar Mas Mono yang empuk, bumbunya meresap, dan tidak banyak gosong-gosongnya. Bukan
baru sekali saya makan ayam bakar yang bagi saya terasa terlalu garing, keras,
dan terlalu banyak gosongnya.
Duh,
kalau yang banyak gosong-gosongnya sih … saya udah sering bikin di rumah.
Haha…. cemplungin bahan yang mau dimasak, lalu ditinggal nulis, ngedit, atau
jualan buku. Dijamin akan gosong dengan sukses.
Oya,
selain sambal bajak, kalau mau nyicipin sambal-sambal lainnya, bisa mesen
sambal petir, sambal ijo, sambal seblak, dan sambal tobat.
Fotoable?
Rumah
makan Ayam Bakar Mas Mono di Jatinangor ini cukup nyaman. Para pegawainya pun melayani dengan cukup ramah.
Sayangnya, hanya ada satu-dua spot menarik untuk foto-foto. Mungkin belum ada, ya.
Gerai di Jatinangor ini baru berusia empat bulan. Berarti dibuka sekitar Maret
2016. Masih seumur jagung.
Spot yang
sedikit itu pun posisinya kurang oke. Ada yang terlalu dekat dengan kotak
meteran listrik, ada yang terhalang oleh meja berisi kardus-kardus makanan.
![]() |
Spot di Ayam Bakar Mas Mono yang sebenarnya keren tapi nggak mendukung buat foto-foto. |
Menurut saya sih, spot yang fotoable ini penting. Siapa sih yang nggak suka foto-foto di tempat kece atau unik, lalu mengunggahnya di media sosial? Secara tidak langsung jadi sarana untuk promosi juga, kan.
Labanya untuk Pondok Tahfidz
Ketika
akan membayar, selembar kertas yang tertempel di tiang dekat kasir membuat saya
memicingkan mata.
![]() |
Berbisnis dan beramal. |
Hei, 40
persen disalurkan ke Pondok Tahfidz? Saya jadi teringat pada surat edaran yang
saya baca di musala.
Dari Kang
Gaga, pegawai rumah makan, saya dapat informasi bahwa Ayam Bakar Mas Mono ini
merupakan waralaba. Pusatnya di Jakarta. Gerai Mas Mono ada 29, tersebar di
berbagai kota di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia.
Menurut
Kang Gaga yang sempat saya lihat sedang tadarus di musala, pemilik Mas Mono
memang mengalokasikan 10% keuntungannya untuk donasi. Namun, Pak Darwanto dan
Bu Herni yang memiliki gerai di Jatinangor ini merelakan 40% keuntungan mereka
untuk didonasikan ke Pondok Tahfidz Quran Generasi Rabbani Qurani (GRQ)
Cileunyi. FYI, Cileunyi ini hanya sepelemparan batu dari Jatinangor.
Masya
Allah. Ternyata Mas Mono berbisnis dan beramal sekaligus. Semoga selalu lancar jaya dan barokah.
Angkutan Umum
Rumah
Makan Ayam Bakar Mas Mono ini terletak di Jalan Raya Bandung – Sumedang Nomor
101. Tak jauh dari kampus Unpad dan pertigaan Sayang (iya, bener, Sayang.
Namanya Desa Sayang).
Kalau
pakai kendaraan pribadi dari arah Bandung, mesti muter dulu lewat depan kampus
Unpad karena jalan di depan rumah makan ini satu arah. Kalau dari arah Sumedang
mah tinggal lurus aja.
Angkutan
umumnya?
- Angkot Cileunyi – Tanjungsari yang berwarna cokelat. Kalau dari arah Bandung, turun di perempatan Unpad – Masjid Al Jabbar. Nyebrang, lalu jalan kaki sekitar seratus meter. Bagi saya mah jalan kaki di sini nostalgia masa kuliah. Hehe.... Oya, kalau dari arah Tanjungsari, turun dari angkot pas di depan rumah makan ini.
- Angkot Gedebage – Majalaya. Angkot dari arah Gedebage (Bandung) ini melewati gerbang lama Unpad, lalu kembali ke Jalan Raya Bandung – Sumedang, untuk kemudian berbelok ke Desa Sayang dan terus ke Majalaya. Kalau naik angkot ini, bisa turun persis di depan Ayam Bakar Mas Mono.
- Bus Damri tujuan Jatinangor dan Tanjungsari juga melewati jalan ini. Cuma memang mesti jalan kaki dikit karena jalannya yang satu arah.
Selesai
makan lalu pengin beli Lapis Sumedang? Yuuuk. Letaknya nggak jauh, kok. Tapi
kalau jalan kaki, ya, lumayan bikin berkeringat. :D Mau naik angkot? Bisa. Naik
angkot cokelat yang ke arah Cileunyi, ya. Bayar Rp 2.000 saja untuk sampai di
outlet pusat yang terletak di seberang Giggle Box (dekat IPDN) ini.
Baca Juga: Lapis Sumedang, Metamorfosis Ubi Cilembu