Siapa Bilang Menulis Tidak Butuh Modal?


Modal dasar menulis

Beberapa hari belakangan ini menulis dan profesi sebagai penulis buku sedang diperhatikan. Tepatnya, setelah Tere Liye dan Dee bersuara lantang tentang pajak royalti penulis.

Lucunya, ada (bahkan sesama penulis) yang kemudian nyinyir. “Ngapain, sih, penulis protes soal pajak royalti? Wajar dong kena pajak 15%. Kan kerjanya juga nggak pakai modal. Tinggal duduk dan ketak-ketik. Nggak kayak pegawai kantoran yang minimal mesti ngeluarin ongkos transportasi. Nggak kayak pengusaha yang mesti ngeluarin uang buat beli bahan baku dan bayar karyawan.”

Euheuheu…. Enak banget, deh, jadi penulis itu. Nggak perlu modal tapi dapat duit.


Pengertian Modal

Kita sering memahami modal sebagai uang dan benda. Kalau tidak berupa uang atau benda, dianggap bukan modal.

Mengutip dari Buku Pintar Ekonomi Syariah karya Ahmad Ifham Sholihin (Gramedia Pustaka Utama, 2010: 876), modal ada dua macam. Modal materi dan modal nonmateri. Termasuk dalam modal nonmateri ini adalah nama baik (reputasi).

Kita kutip yang lain, ya. Karl E. Case dan Ray C. Fair dalam buku Prinsip-Prinsip Ekonomi Jilid 1 (Erlangga, 2007: 269) menyebutkan bahwa termasuk modal nonmateri adalah:

  • Modal tak berwujud (intangible capital), contohnya nama baik (goodwil).
  •  Modal sumber daya manusia (human capital). Contohnya, keahlian dan pengetahuan pekerja.

Clear
, ya, modal kerja tak selalu berupa materi.


Modal Dasar Menulis

Kebanyakan penulis tidak berkantor. Dengan kata lain, kebanyakan bekerja dari rumah.

Kelihatannya nggak perlu modal, ya. Nggak perlu beli bensin, nggak perlu bayar ongkos transpor, nggak perlu baju kerja keren (dasteran atau kaus oblong belel juga bisa udah kerja). 

Itu kelihatannya. Nyatanya, penulis juga pakai modal supaya bisa menulis. Ada modal materi, ada modal nonmateri.

Berikut ini 12 modal para penulis.

1. Laptop atau PC.

Zaman begini, naskah tidak lagi diketik dengan mesin ketik manual. Zaman menulis di daun lontar pun sudah lama berlalu. 

Modal dasar menulis
Laptop, modal materi yang penting bagi penulis. (kucing-kucing yang terdampar di meja nggak usah dimasukkan modal 😀)

Pengiriman naskah pun banyak yang lewat email. Kebayang repotnya ngirim email berisi naskah yang ditulis di daun lontar.

Spek laptop atau PC yang dibutuhkan penulis buku umumnya di bawah kebutuhan ilustrator. Yang penting bisa buat ngetik. Tapi yang spek secukupnya itu juga dibeli pakai uang, bukan pakai daun kering yang berserakan di pinggir jalan.


2. Koneksi internet.

Entah pakai modem atau wifi. Pokoknya ada koneksi internet. Gunanya untuk kirim naskah, komunikasi dengan penerbit, searching bahan tulisan, mencari ide, promosi buku, dll.


3. Ponsel.

Jangankan penulis, penjual sayur keliling aja pegang ponsel untuk memperlancar pekerjaannya. 

“Besok bawain jengkol sekilo ya, Mang.”
“Mang, pesen udang sekilo. Pilihin yang besar dan segar, ya.”
Maaaang, ayeuna di mana? Kangkung aya keneh, teu? Pang simpenkeun tilu kanggo abdi. Abdi ka ditu sakedap deui.” (mohon maaf kalau ada yang mendadak roaming).

Apalagi penulis, Kak.


4. Buku.

Penulis harus mau membaca buku (dan literatur lainnya). Itu modal dasar menjadi penulis. Ibarat teko air, deh. Kalau tekonya kosong, apa yang akan dikeluarkan dari dalamnya?

Teman saya, Tethy Ezokanzo, butuh membaca belasan sampai puluhan buku (termasuk kitab-kitab klasik) untuk menulis satu buku anak.

Meski tidak sefantastis Tethy, saya juga membaca berbagai literatur (cetak dan digital) untuk menulis satu buku. 

Sempat elus-elus dompet sih waktu lihat satu buku referensi yang saya butuhkan berharga 100-200 ribu. Beli, jangan, beli, jangan, tokek, tokek, tokek…. 

Akhirnya beli juga. Ini modal. Investasi. 

membaca buku
Buku, modal untuk memperkaya pengetahuan penulis.

5. Ilmu pengetahuan.

Tak terlihat tapi sangat penting. Tulisan yang keluar dari orang tak berilmu pengetahuan sering terasa hampa. Tak ada isinya. 

Untuk mendapat ilmu pengetahuan berarti harus belajar. Harus banyak membaca. Mungkin juga melakukan riset. Itu butuh dana dan waktu yang tidak sedikit.

Menulis novel pun butuh ilmu pengetahuan, bukan hanya imajinasi.


6. Pengalaman.

Pengalaman hidup merupakan modal yang luar biasa. Tak jarang demi mendapatkan pengalaman tertentu, seorang penulis harus mengeluarkan dana tak sedikit. Penulis senior dan penulis pemula sama saja.


7. Keterampilan menulis.

Yang namanya penulis ya harus terampil menulis. Itu modal dasar menjadi penulis. Kalau penulis juga terampil menjahit, melukis, memotret atau apalah, itu bonus. Seorang penulis tetap disebut penulis meski tak bisa menjahit atau melukis.

Tidak terampil menulis? Naskah dikembalikan terus karena tak ubahnya catatan belanja?

Ya, belajar. Ikut kelas-kelas menulis. Tentu saja, yang diampu oleh mentor andal dan sudah teruji kemampuan menulisnya.

Untuk sampai pada tahap terampil menulis itu tidak cukup sekedip-dua kedip mata. Butuh praktik, praktik, dan praktik. Tak jarang harus melewati proses yang berdarah-darah.

Memangnya enak tulisan dikritik pedas? Memangnya enak tulisan yang kita anggap masterpiece ternyata bolak-balik dikembalikan karena karakter dianggap lemah, alurnya parah, logikanya ancur, penggarapan temanya basi, atau malah terdeteksi plagiat?


kelas menulis
Kelas menulis dan kelas sharing tentang penulisan untuk meningkatkan keterampilan menulis dan menjaga passion.

8. Printer dan scanner.

Sebagian penulis menganggap perlu memiliki printer dan scanner sebagai piranti tempur. Setahu saya, sih, beli printer dan scanner juga pakai duit, bukan pakai daun kering.

Saya sendiri, karena belum punya cukup anggaran (dan belum perlu-perlu amat, sih), biasanya ke warnet atau tempat fotokopi aja untuk keperluan itu.


9. Makanan dan minuman.

Jangan lupa, penulis adalah manusia biasa yang butuh makan dan minum.


10. Waktu.

Waktu termasuk modal? 

Ya. Untuk menghasilkan sebuah buku seorang penulis bisa menghabiskan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Ada waktu bersama keluarga yang harus dikorbankan. Ada waktu berkumpul bersama teman-teman yang terpaksa dilewatkan demi fokus menulis buku.

Dalam buku-buku ekonomi disebutkan bahwa modal tenaga kerja diukur dengan satuan waktu (jam kerja). Kalau modal tanah atau bangunan diukur dalam satuan meter persegi.


11. Tempat yang nyaman.

Bekerja dari rumah memang nyaman. Namun, ada kalanya penulis perlu mencari tempat di luar rumah untuk menulis. 

Kafe biasanya menjadi pilihan. Terutama yang dilengkapi dengan wifi dan colokan listrik. 

Di kafe yang tenang, penulis bisa lebih fokus bekerja. Nggak kepikiran pakaian kotor yang numpuk, setrikaan menggunung, atau lantai yang baru dipel tapi udah kotor lagi. 

Di kafe juga bisa sekalian meet up dengan editor, klien, atau sesama penulis. Jadi, bukan untuk gaya-gayaan, bukan sekadar buat minum kopi dan rumpi-rumpi.

Saya juga sering mlipir ke coffee shop jika menjelang deadline atau butuh konsentrasi ekstra. Di Bandung, coffee shop yang sering saya datangi untuk numpang kerja adalah The Warung Kopi dan Kopi Pabrik Sukahati.

Ngopi Doeloe
Meet up penulis dan editor Mizan di kafe.

12. Nama baik (reputasi).

Modal dasar menulis berikutnya adalah nama baik. Penulis yang terkenal sebagai biang nyinyir, penyebar hoax, hobi ngaret (deadline Februari, selesai Desember), menyebalkan saat bekerja sama, dan sejenisnya sudah kehilangan satu modal.

Teman saya, editor di sebuah penerbit besar, bercerita bahwa mereka memutuskan menolak sebuah naskah (yang sebenarnya bagus).

Penyebabnya? Setelah mereka stalking ke akun medsos si penulis, ternyata statusnya melulu berisi keluhan (padahal bukunya tentang motivasi), makian, atau berita hoax.

Oya, tentang naskah yang ditolak itu, bisa baca lebih lengkap di tulisan saya  7 Penyebab Naskah Ditolak


Hargai Dirimu

Semoga tak ada lagi penulis yang beranggapan “Menulis kan cuma duduk di depan laptop dan ketak-ketik nulis. Nggak keluar modal.”

Harga waktu yang kita gunakan untuk menulis. Hargai keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan kita. 

Kalau bukan kita yang memulai menghargai diri kita sebagai penulis, mau mengharapkan siapa?


Salam,
Triani Retno A
www.trianiretno.com
Penulis Buku, Blogger, Editor

13 komentar

  1. Namanya kerja pasti butuh modal.

    BalasHapus
  2. Bener banget menulis juga butuh modal. Banyak ternyata kalau ditelusuri satu demi satu. Dimulai dari riset cari ide, belum cemilannya, hehe ... waktu, terus ikut training online. Semua itu butuh modal memang. Alhamdulillah karena suka nulis jadi mau terus ditekuni. Bagi saya menulis bisa buat healing juga, sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalaupun training online-nya gratis, kan kuota internet sama listriknya juga bayar :D

      Iyes banget. Bagus buat healing :)

      Hapus
  3. Setuju sama Mbak Eno, banyak modal yg diperlukan untuk menjadi penulis, karena butuh riset apalagi waktu untuk berpikir

    BalasHapus
  4. Saya pernah jengkel saat mengajari tetangga jauh tentang teknik mengisi Instagram. Ia pengen belajar jualan di sana. Yang bikin jengkel, bukan karena banyak teknik yang saya berikan terpental karena tak jua dipahami sehingga 3 jam duduk itu rasanya lelah.

    Sesi berakhir saat ia bilang, alasan dia belajar karena menulis itu sangat mudah, dan siapapun pasti bisa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo asal menulis sih memang mudah dan siapa pun bisa ya, Mbak. Tuh contohnya komen-komen asbun menjurus kasar di medsos. Tapi kan bukan itu tujuan kita menulis :)

      Hapus
  5. Saya juga dapat nih Mbak broadcast WA ttg sharing Tere Liye dan Dee Lestari 2017 lalu, Mbak Eno. Bener banget yg Mbak Eno tuliskan di atas, terutama waktu. Bagi saya yg sedang "hamil" buku ketiga, modal waktu amat sangat berharga. Karena di saat yg sama wajib mendampingi anak2 school from home juga kan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga "hamil" dan "lahiran" nanti lancar semua yaaa :)

      Hapus
  6. Wah, kalau jadi penulis seenak itu, nggak modal tapi dapat duit, semua orang pasti udah jadi penulis ya mbak.

    Faktanya, udah ikutan kelas menulis online berbayar tak sedikit, ikut bimbingan penulis-penulis produktif, cari modal sana sini, keluarin modal ke sono kemari, sampai sekarang saya belum punya buku sendiri. Apalagi yang nggak modal. Ahaha!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi... Buat kerja bakti aja butuh modal, paling nggak kopi sama gorengan ya :D

      Dirimu sibuk menjahit dan merias siiih... Kalo aku kan full nyari duit dari nulis :D

      Hapus
  7. Hanya bisa meringis baca kata-kata penulis tak butuh modal huhu..

    BalasHapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.