Bisakah Hidup dari Menulis?


menulis sebagai sumber penghasilan

Saat acara sharing tentang menulis di kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Telkom University, seorang dosen bertanya tentang bisa tidaknya seseorang hidup hanya dari menulis.
 
Jelas tidak bisa! Hanya menulis? Nggak makan, nggak minum, nggak bernapas? Gimana bisa hidup? 

Hahaha … nggaklah. Masa saya jawab begitu. Bisa-bisa saya langsung dideportasi ke Timbuktu buat nemenin Donal Bebek.  

Tentang acara sharing itu bisa dibaca di Bincang Menulis di Telkom University Bandung. Tulisan yang sedang Teman-teman baca ini fokus ke pertanyaan salah satu dosen FEB Telkom University saja.


Hidup dari Menulis

Menurut saya, sih, bisa saja hidup dengan mengandalkan penghasilan dari menulis, hanya dari menulis. Yang dimaksud di sini bukan penulis yang juga karyawan sebuah perusahaan, ya (contohnya, bukan copywriter di sebuah biro iklan yang mendapat gaji tetap).

Beneran?
Iya, beneran. Tapi ada syaratnya.

1. Jadi penulis yang produktif.

Setiap tahun menerbitkan banyak buku. Lima atau enam buku cukuplah. Kalau menulis untuk koran dan majalah, setiap minggu ada yang dimuat dan dibayar.

Perlu ditegaskan nih, soal dibayar ini. Ada, lho, koran yang tidak membayar honor penulisnya, baik yang mengatakan secara terus-terang maupun secara malu-malu meong.

Kalau cuma mencari jam terbang supaya dikenal atau untuk mengisi curriculum vitae, silakan. Tapi kalau menulis untuk mendapatkan penghasilan, yang seperti ini sebaiknya ditinggalkan saja. 

Kalau menulis skenario … hm, kabarnya honor penulis skenario sinetron kejar tayang bikin ngiler, lho.

menjadi penulis produktif
Bukan penulis produktif kalau hanya menerbitkan satu buku lalu tak pernah menulis lagi.
 

2. Jadi penulis langganan bestseller.

Mungkin tidak produktif, setahun hanya satu buku tapi langsung bestseller. Terjual ribuan eksemplar dalam waktu singkat, dicetak ulang dalam tempo sebulan setelah terbit, menggunakan sistem royalti (bukan beli putus), dialihbahasakan, dan difilmkan. Ketika menerbitkan buku baru lagi, langsung bestseller lagi. Begitu seterusnya. 

Kalau tidak produktif dan jauh dari mega-bestseller, sepertinya susah hidup hanya dengan mengandalkan pendapatan dari menulis. 

Bukannya hendak menciutkan nyali, namun penulis yang mendapat royalti hanya seratus ribu dalam enam bulan dipotong pajak 15% itu benar-benar ada.  Tentang royalti saya tulis di Pajak Royalti Penulis.


3. Punya pasangan hidup yang berpenghasilan besar.

Bayangkan saja kalau suami atau istri tajir melintir, punya pekerjaan dengan gaji besar, dan punya deposito yang cukup buat tujuh turunan delapan tanjakan. Kita bisa tenang menulis. 

Tidak perlu pusing memikirkan kapan honor akan ditransfer, apa masih ada cukup uang buat membeli gas dan membayar tagihan listrik, dan sebagainya.Tinggal menulis.

Huehehe… saya juga mau kalau begini. Tapi… khusus poin ini ada hal yang perlu diperhatikan.

Sepengalaman saya, pasangan hidup yang bisa memenuhi kebutuhan lebih dari cukup bisa membuat kita terjebak dalam zona nyaman. Begitu nyamannya hingga enggan dan lupa menulis.

Saya sendiri baru kembali menulis (setelah vakum empat tahun) ketika zona nyaman itu hancur berantakan.

Ketika di kampus Telkom University, saya hanya menyebutkan tiga poin itu. Ketika menulis ini, saya teringat beberapa poin lagi yang membuat seseorang bisa hidup dengan mengandalkan penghasilan hanya dari menulis.

Nomornya saya lanjutkan saja, ya, dari yang di atas tadi.


4. Menulis sebagai co-writer dan atau ghostwriter.

Tentu saja, co-writer dan ghostwriter yang berbayar. Saya merasa perlu menegaskan masalah berbayar ini karena bukan baru satu kali ada yang meminta saya menjadi CW dan GW tetapi marah-marah ketika saya mengatakan ada honor yang harus mereka bayarkan pada saya.

Duh! Itu nyari co-writer atau nyari romusha? Di Jadi Co-Writer Saya, Dong saya cerita lebih panjang tentang pekerjaan co-writer ini.


5. Menjadi blogger.

Blog yang pageviews-nya tinggi, rangking-rangkingnya bagus, sering menang lomba, atau SEO-nya top juga bisa menjadi sumber penghasilan. Bisa dari menulis artikel pesanan sponsor, replacement article, iklan, review produk, hadiah lomba, dan sebagainya. Alhamdulilah, saya pun bisa pergi umroh dari hasil ngeblog.

Untuk sampai pada posisi seperti itu jelas butuh kerja keras dan waktu yang tidak sebentar. 

Dari penulis buku jadi blogger? Iya. Yang sebaliknya juga banyak sih. Semula blogger lalu menjadi penulis buku.

penulis produktif
Jadi penulis produktif butuh kerja keras. Nggak bisa kalau cuma tidur di depan laptop begini.

6. Diversifikasi Menulis

Cakupan menulis itu luas, lho. Dari jenis tulisan saja ada novel, dongeng, cerpen, puisi, esai, artikel, opini, resensi, review produk, skenario, naskah iklan, naskah pidato, dan sebagainya.

Dari segi kemasan ada buku, majalah, koran, media elekronik, situs internet, blog, dan sebagainya. Dari segi genre dan segmen pembaca pun bermacam-macam. 

Selama ini, kan, ada saja yang beranggapan bahwa belum disebut penulis kalau belum menghasilkan buku. Ah, tidak seperti itu. Tidak harus dalam bentuk buku. Saya juga menulis macam-macam. Bisa dilihat di Rekam Jejak di Dunia Menulis.

Selain itu ada pekerjaan lain yang masih berhubungan erat dengan menulis. Penulis bisa merangkap menjadi penerjemah, editor, trainer kepenulisan, atau membuka kelas menulis.

Penulis yang sudah punya jam terbang pun biasanya diundang untung mengisi acara-acara kepenulisan seperti workshop, talkshow, sharing, bedah buku, atau menjadi juri lomba menulis.

juri lomba menulis
Saya bersama rekan-rekan penulis dan akademisi ketika menjadi juri Apresiasi Sastra Siswa Sekolah Dasar - Konferensi Penulis Cilik Indonesia tahun 2014 (atas) dan 2015 (bawah).

Berbayar?

Tentu saja. Kita kan sedang bicara tentang mendapatkan penghasilan dari menulis, bukan membicarakan kerja bakti membersihkan lapangan RT. :)

Nah, berani mengandalkan menulis sebagai sumber penghasilan utama? Jangan lupa, karena tidak ada penghasilan tetap dari kantor, mesti disiplin mengelola keuangan keluarga ala freelancer.

Salam, 

Triani Retno A
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance

23 komentar

  1. Bagi sekalangan orang menulis adalah sumber nafkah utama. Bukan sekadar untuk beli lipstik atau jajan bakso ��

    BalasHapus
  2. Jalan untuk mendapatkan penghasilan dari menulis sebagai sumber utama, tidak dari yang lain menurut saya tergantung penulisnya itu sendiri. Seperti yang Teh Eno bilang penulis harus produktif, bisa bikin buku best seller, pokoknya berusaha keras banget biar bisa dapat penghasilan dengan mengandalkan tulisannya. Contoh lain, kaya blogger yang sering menang lomba misalnya, sekali menang dapat rezeki lumayan besar. Namun, tidak semua bisa seperti itu. Saya pribadi mendapatkan tambahan penghasilan dari menulis, belum sebagai sumber penghasilan utama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan utama itu kadang2 rasanya seperti menempuh jalan ninja yang penuh ranjau dan menakutkan :D

      Hapus
  3. Baca ini kujadi ingat, sedang jadi co writer, naskah masuk di penerbit mayor. Tapi belum pernah bicara bayaran soalnya sama teman sendiri wkwkwk. Kapan-kapan saya DM ya, Teh mau nanya2 tentang itu. 🤭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan, Mbak :)
      Semoga "harga temannya" di atas harga normal ya :D

      Hapus
  4. Weww.. udah banyak banget buku yang lahir ya, Mbak...
    Keren dan produktif sekali.

    Memang iya, kalo berada di zona nyaman, produktifitas jadi berkurang ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Mulainya juga udah lama kok, Mbak. Udah 15 tahun untuk buku aja :)

      Eh tapi kadang2 aku justru pengen di zona nyaman lagi biar bisa tenang nulis. Manusia banget nih, gak ada puasnya :D

      Hapus
  5. Syarat nomor 3 bikin aku auto ngakak Mba Tri. Wkwkwk. Aku merindiiiing lihat foto buku-buku bertumpuk yg namanya tertulis Triani Retno itu. Huebattttt mba dirimu. Semoga sukses selalu ya mba dan kembali melahirkan buku-buku best seller.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... ya Mujibassailiiin.....

      Eh itu beneran loh. Ada temen yang gaji suaminya puluhan juta rupiah per bulan. Udah anteng aja nulis mah. Royalti buku terpuruk juga nggak bakal bingung gimana bayar sekolah anak-anak bulan depan :D

      Hapus
  6. Jadi.kesimpulannya menulis bisa lah ya buat jadi pegangan hidup.. hehe.. Tapi ya tetep tergantung mau hidup yang kayak apa.. disesuaikan dengan mau nulis apa.. gitu gak sih mbak.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bisa .... tapi syarat dan ketentuan berlaku :D

      Hapus
  7. Sementara ini saya masih di poin blogger mbak, itu pun belum menjadi pekerjaan utama hehe, masih merintis dulu :)

    BalasHapus
  8. Setuju dengan yg no 6, Teh... diversifikasi menulis. Kl cm ngarepin dari blog yg belum meroket PV nya, belum page one artikel²nya dan menang lomba pun hadiah hiburan (kayak saya), hihi, blm produktif ya. Nice share ini Teh, tfs

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mia mah masih ngajar di kampus ya. Kalo aku kan udah nggak ngantor lagi (plus nggak ada suami yang ngasih duit per bulan :D )

      Hapus
  9. Mba Enooo aku padamuuuu
    Kalo main k BDg lagi, daku mupeng buat meet up dan berguru dgn mb Eno yaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Laaaah...Teh Ulu bukannya emang tinggal di Bandung juga?

      Hapus
  10. No. 5 jadi blogger.
    Saya sudah cukup banyak melihat teman-teman yang sukses jadi blogger, berpenghasilan, dan mereka bisa hidup layak bahkan berlebih dari blog yang ia kelola :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Rien juga salah satu blogger sukses yaaaa. Senaaang...tahun lalu itu bisa ketemu Mbak di Muamalat. Sayang nggak bisa ngobrol banyak ya.

      Hapus
  11. Hahaha, ngakak guling-guling pas sampai di point 4.

    "... marah-marah ketika diingatkan ada honor yang harus dibayarkan!

    sama bagian ini juga:

    "... bukan membicarakan kerja bakti membersihkan lapangan RT!"

    Laaaf, this article!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya pernah mengalami juga yaaaa honor nggak dibayar-bayaaaar? :D

      Hapus
  12. jujur sih belum berani karena masih belum bisa manage waktu dengan baik, masih rem to the pong alias rempong dengan urus anak-anak dan domestik RT hihihh.
    cukuplah ini jadi penulis blog dulu, lumayan bisalah buat jajan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo aku kasusnya beda, Mbak karena aku nggak punya suami dan udah nggak ngantor lagi. Anak bungsu baru lepas ASI waktu kami pisah. Jadi berani nggak berani, mesti diberani-beraniin. Rempongnya masa itu...ya Allah...kapan-kapan aku tulis deh :'(

      Hapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.