Dilayani Ketus Saat Bukber? Ini Penyebabnya


Dilayani Ketus Saat Bukber


Saya bukan orang yang suka buka puasa bersama alias bukber di tempat umum. Sebutlah mal, resto, kafe, atau apalah. Bukan tidak mau bersilaturahmi dengan teman-teman lho, ya.

Saya bukan orang yang merasa nyaman bepergian di malam hari. Bukber kan pasti sampai malam. 


Ya iyalah. Buka puasa kan setelah azan Maghrib. Memangnya anak TK, buka puasa jam sepuluh pagi? :D

Saya juga kurang suka dengan suasana ramai cenderung crowded menjelang berbuka puasa di tempat umum. 

Selain itu, urusan shalat Maghrib pun sering jadi masalah. Entah nggak ada tempat untuk shalat, atau ada tetapi sempit dan tidak nyaman.


Bukber di Jalan

Pekan lalu, saya dan anak-anak berbuka puasa di sebuah resto. Ceritanya, sore harinya saya mengisi acara Bincang Menulis di Universitas Telkom Bandung.

Jarak dari kampus tersebut ke rumah saya sekitar 10 kilometer (kata Google Maps) dan harus melewati titik-titik macet. Hari biasa aja udah terkenal macetnya, apalagi di sore bulan Ramadhan.

Keluar dari kampus menjelang pukul empat sore dan beberapa menit kemudian tenggelam dalam kemacetan. 

Wew, saya bersyukur banget sehari-hari bekerja dari rumah. Selama ada koneksi internet, saya anteng deh. Cuma sesekali saya kerja ke luar rumah seperti ini. Cerita saya bekerja dari rumah bisa dibaca di Dari Perempuan Kantoran ke Perempuan Rumahan

Dengan begitu, saya nggak perlu tua di jalan karena setiap hari terjebak macet. 

Sepuluh menit menjelang azan Maghrib, kami berbelok ke sebuah rumah makan. Sebenarnya masih sempat sih mengejar waktu berbuka puasa di rumah. 

Masalahnya, sebelum pergi tadi saya belum masak apa-apa. Nasi pun tidak ada. Boro-boro menyiapkan menu Ramadhan enak

Jadi, pilihannya cuma buka puasa di luar rumah. Ya sudahlah, cari tempat bukber saja.


Ramai daaan … Ketus

Tuh, kan. Ramai banget. Ada beberapa rombongan besar yang akan bukber di sana. Kami memilih tempat di halaman saja. Di meja yang berpayung. Bagus buat foto-foto. 

Tapi, nggak lama kemudian kami pindah ke meja biasa karena cuaca yang semula cerah mendadak mendung. 

Makanan datang. Satu, dua, tiga… lengkap. Eh, tunggu. Kok nggak ada hidangan buat takjilnya ya? Kan di paket yang saya pesan, ada menu itu. Oh, mungkin pelayannya lupa saking banyaknya orang yang akan berbuka puasa di sana.

Tapi karena itu hak saya, saya minta baik-baik dong. Si Pelayan hanya melihat ke meja kami, lalu pergi. 

Tak lama dia kembali dengan sebuah nampan kecil berisi tiga gelas minuman untuk takjil. Meletakkannya sembarangan di meja dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa. 

Tidak ada kata maaf, punten, silakan, atau apalah. Ekspresi wajahnya pun datar cenderung judes.

Saya dan anak sulung saya berpandangan sambil mengangkat alis. Apalagi ketika melihat gelas berisi (maksudnya) sop buah itu. Satu gelas penuh, satu gelas berisi tiga perempat, satu gelas lagi berisi setengahnya.

Lalu sambil nyengir saya bilang, “Mungkin isi gelas ini disesuaikan dengan tinggi badan pelanggan. Yang paling banyak buat Mami, yang paling sedikit buat Adek.”

Buka puasa bersama keluarga
Sop buah yang isinya tidak sama banyak itu. Hehehe, ini motretnya nggak difokuskan ke sop buahnya sih.
 

Ternyata Ini Penyebabnya

Sambil makan, saya memperhatikan sekitar. Para pelayan rumah makan itu masih saja mondar-mandir membawa makanan ini dan itu. Masih sibuk melayani ini itu. Eh, mereka udah buka puasa atau belum, ya?

“Udah buka, Bu. Tadi kami minum air putih,” kata si Mbak Kasir yang sedang hamil.

“Cuma minum air putih?”

“Iya, Bu.”

“Kalian kapan makannya?” Mendadak saya jadi emak-emak yang bawel karena anak-anaknya asyik main dan lupa makan.

Saya perhatikan sepintas para pelayan yang stand by di dekat meja kasir. Masih muda-muda, walaupun yaaah…ketuaan juga sih kalau jadi anak saya. :D

“Nanti, Bu. Kalau udah sepi.”

“Shalat Magribnya gimana?”

“Gantian, Bu. Kalau lagi ramai banget malah nggak sempat shalat. Nanti dijamak sama Isya.”

Duh….

Dilihat dari pendekatan profesional, melayani pelanggan dengan ketus seperti itu tentu saja tidak bisa dibenarkan. 

Saya bukan penganut paham “pembeli adalah raja”. Bagi saya pembeli dan penjual adalah mitra setara. Sama-sama membutuhkan. Sebagai mitra, wajar dong kalau ingin mendapatkan layanan yang memuaskan. 

Namun, dengan pendekatan baperologi, saya bisa memahami kenapa mereka melayani seperti tadi. Sama seperti saya, mereka juga berpuasa Ramadhan seharian. 

Ketika tiba waktu berbuka puasa, mereka cuma bisa melihat puluhan (mungkin ratusan) orang makan dan minum dengan lahap di depan mereka. Sementara itu, mereka terpaksa “memperpanjang” puasa mereka.

masakan khas Sunda
Ayam goreng dan lalap ala Sunda.

Mereka juga mungkin gundah karena tidak bisa shalat Maghrib. Duh, apa artinya puasa kalau tidak shalat?


Jadi Serbasalah

Ah, jadi serbasalah mau buka puasa di luar rumah. Saya kok jadi merasa ikut andil menghalangi mereka yang mau berbuka puasa dan shalat Maghrib.

Semoga ke depannya para pemilik dan manajer rumah makan bisa membuat kebijakan yang win-win solution, ya. Yang begitu kan termasuk berbagi kebaikan di bulan Ramadhan.

Pelanggan yang akan bukber tetap terlayani dengan baik dan ramah, para pegawai rumah makan juga tetap bisa berbuka puasa dan melaksanakan shalat Maghrib.



Salam, 
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.