Bakat Turunan dalam Keluarga

 Mengembangkan bakat turunan

“Mbak Eno itu berbakat. Tinggal dilatih sedikit pasti bisa.”

Gimana, seneng nggak kalau dinilai berbakat seperti itu? Saya sih sebenarnya senang. Sebenarnya. Cumaaa, dalam kasus ini saya nggak sesenang itu.

Saya memilih mengabaikan bakat yang katanya tinggal dilatih dikit tersebut.

Bakat Terpendam

Bukannya menyia-nyiakan bakat atau gimana kalau saya memilih mengabaikan yang satu ini.

Jujur saja, saya sudah bahagia dengan ketidakmampuan saya dalam hal ini. Meskipun dikatakan punya berbakat, saya rela melupakannya. Semoga pilihan saya benar.

Saya sudah bahagia dengan ketidakmampuan saya melihat ke dimensi sebelah.

Sudah bisa menebak “bakat” apa yang dimaksud oleh teman saya itu?

Yes, betul. Bakat untuk melihat dan berkomunikasi dengan dengan mereka yang biasa kita sebut sebagai makhluk gaib.

Hadeuh, bakat kok seperti itu!

Kalau sesekali melihat atau mendengar keberadaan mereka, yaaah … itu apes saja sih. Saya nggak pengen bisa melihat mereka.

Beberapa keapesan saya itu bisa dibaca di sini:


Bakat Turunan

Kalau melihat di sekitar kita, banyak orang yang menekuni bidang sama dengan orangtua, om, tante, kakek, atau neneknya. Mereka membawa bakat yang diturunkan secara genetik.

Tambah lagi dengan lingkungan yang mendukung mereka untuk mengembangkan bakat. Memberi kesempatan seluas-luasnya untuk berlatih.

Bakat adalah modal dasar. Latihan yang kontinu akan membuat bakat itu terasah dan membuahkan prestasi.

Anak penyanyi jadi penyanyi. Anak musisi jadi musisi. Anak penulis jadi penulis. Anak atlet jadi atlet. Anak presiden jadi presiden.

Eh, yang terakhir itu masa sih bakat juga? Atau iya itu memang bakat? Atau … ah sudahlah. Tak habis thinking nanti jadinya.

Bicara bakat, tahukah rasanya menjadi orang yang tak kebagian bakat turunan dari kakek nenek dan seterusnya ke atas?

Tahu? Ayo sini, curhat di sini. Hehe….

Saya tahu rasanya. Bukannya sok tahu tapi karena saya mengalaminya.

Baca juga: Sekolah Bakat Does Universit

Bakat di Keluarga Besar

Keluarga besar saya dari garis bapak banyak yang memiliki bakat dalam seni gambar.

Di antara mereka ada yang menggambar sekadar hobi pengisi waktu senggang. Para keponakan suka iseng bikin doodle atau gambar di buku catatan pelajaran.

Namun, ada pula yang menekuninya dengan serius sebagai mata pencaharian.

Adik bungsu bapak saya, misalnya. Semasa hidup om adalah seorang pelukis dan perupa. Lukisan-lukisannya sangat detail. Ia juga jago membuat patung dan seni kriya lainnya.

Om memiliki tiga orang anak. Dua di antaranya begitu kental mewarisi bakat itu. Detail-detail lukisannya membuat saya tercengo-cengo.

Coba lihat lukisan ini.
Lukisan naturalis surealis
Lukisan karya adik sepupu saya. Dilukis dalam kondisi pemulihan pasca stroke dan gangguan penglihatan berat.

Ini salah satu lukisan karya Dhani, adik sepupu saya. Lukisan ini dibuatnya pasca serangan stroke tahun 2019.

Dampak serangan stroke itu masih terasa sampai sekarang. Yang jelas, sangat memengaruhi kemampuannya dalam menggerakkan tangan. Ia melukis dengan tangan yang gemetar dan fungsi penglihatan yang menurun 70%.

Ia bahkan nyaris tak bisa lagi melihat ujung kuasnya menyentuh kanvas. Tapi ia tetap melukis. Istri dan anak tunggalnya menjadi penyemangat. Mereka pula yang menjadi mata bagi sepupu saya itu.

Selain pada Dhani, bakat menggambar juga tumpah pada adik sepupu saya yang lain.

Sepupu saya yang ini bernama Tatok. Ia menguasai seni lukis dan seni kriya dengan baik. Bakat seni itu menjadi jalannya mencari nafkah.
Lukisan abstrak
Lukisan abstrak karya Tatok, adik sepupu saya.

Kedua kakak kandung saya pun mendapat tetesan bakat seni gambar ini, tetapi tidak mereka tekuni.

Kakak sulung hanya menggunakannya untuk mengajar murid-muridnya di sekolah. Keempat anaknya masih mendapat bakat seni ini dengan porsi yang berbeda-beda.

Yang paling ketumpahan bakat menggambar ini adalah si nomor tiga. Sejak SD dia sudah tahu mau menekuni bidang apa. Menggambar. Sekarang dia sudah lulus dari FSRD ITB.
Ilustrasi karya Saffa kelincingantuk
Karya keponakan saya. Bisa dilihat di IG @kelincingantuk

Keponakan saya dari kakak kedua sekarang berkuliah di Jurusan DKV sebuah PTS di Bandung.

Tidak Kebagian Bakat

Lalu bagaimana dengan saya? Hehehe… Kalau membaca dari awal tulisan ini, pasti sudah bisa menebak apa yang terjadi pada saya.

Betul banget. Saya nggak kebagian bakat seni gambar itu sedikit pun.

“Tenang, Mbak. Mas Cacuk juga nggak bisa ngegambar kok,” hibur Tatok suatu ketika.

Wahaha…. Sepertinya ketika pembagian gen bakat di keluarga besar, kami sedang jajan es dawet di deket Pasar Klewer. Pas balik-balik ke rumah mbah, bakat gambarnya sudah habis dibagi-bagi pada yang lain.

Tapi Allah Mahabaik. Kami yang tidak kebagian bakat menggambar diberi-Nya bakat yang lain.

Cacuk jago menulis. Bapak saya, yang jago nembang dan main gamelan, dulu tak pernah melewatkan menonton sinetron Jin dan Jun, serta Tuyul dan Mbak Yul.

Bapak hobi nonton sinetron? Tidak juga. Bapak lebih suka menonton wayang. Hehe…. Bapak rajin menonton kedua sinetron seri itu karena penulis skenarionya adalah Cacuk, keponakannya.

Kedua anak saya pun kaku sekali untuk urusan menggambar. Seperti saya, si sulung lebih suka menulis. Dia bahkan lebih awal memulainya dibandingkan saya.

Saya baru mulai memublikasikan tulisan di majalah ketika sudah berstatus sebagai mahasiswa. Salah satunya adalah majalah Kawanku.

Anak sulung saya sudah memublikasikan tulisannya di koran Pikiran Rakyat ketika kelas 5 SD. Sekarang dia berkuliah di Komunikasi UPI, masuk lewat jalur prestasi menulis. Dia penulis novel. Belasan bukunya terbit di grup Penerbit Mizan.

Meski tidak bisa menggambar, si sulung senang merias wajah. Nurun dari mbah utinya, alias ibu saya.

Berfokus pada Kemampuan

Novel karya Triani Retno dan Sarah Ann
Sebagian novel karya saya dan putri saya.

Dulu saya sempat gemes sendiri sih karena kaku sekali kalau harus menggambar.

Tapi sekarang-sekarang rasa gemes itu cukup saya tertawakan saja. Beda keluarga beda cerita. Beda orang beda kemampuan.

Nggrundal-nggrundel karena nggak kebagian bakat menggambar bisa-bisa malah membuat saya lupa bersyukur.

Sudahlah. Lebih baik berfokus mengasah kemampuan dalam menulis. Bakat nggak akan banyak berarti kalau tidak dilatih. Practice makes perfect, cenah.

Lebih baik banyak-banyak bersyukur karena Allah memberi saya kemampuan merangkai kata-kata.

Lalu bagaimana dengan “bakat” melihat mahkluk gaib itu? Apakah itu juga bakat turunan?

Aaargh!


Salam,

Triani Retno A

1 komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.