Sekolah Swasta atau Sekolah Negeri

 Sekolah swasta atau sekolah negeri

“Anakmu sekolah di swasta? Lho, kenapa nggak dimasukkan ke sekolah negeri aja?”

Para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta (SD, SMP, SMA), pasti cukup familiar dengan pertanyaan begitu.

Kecuali mungkin yang dari kalangan sosialita, selebritas, atau mereka yang duitnya seolah tak berseri saking tajir melintirnya. 

Kenapa sekolah negeri?

Kenapa sekolah swasta?


Anak Negeri

Saya sudah khatam rasanya bersekolah di institusi pendidikan milik negara. Dari SD, SMP, SMA, hingga kuliah S1. Oh, bahkan sekolah taman kanak-kanak saya dulu bernama TK Pemda. 

Apakah saya senang di sekolah negeri terus? Alhamdulillah, seneng. 

Sampai usia SMP sih rasanya biasa saja. Ketika SMA, baru terasa bahwa bersekolah di sekolah negeri itu KEREN. Kebetulan pula SMA saya adalah salah satu sekolah favorit di Bandung. 

Anggapan bahwa sekolah negeri itu keren sepertinya sudah tertanam di benak banyak orang. Selain itu, ada pula anggapan bahwa belajar di sekolah negeri lebih murah.

Jika lebih keren dan lebih murah sekaligus? Hm … itu kombinasi maut yang sungguh susah ditolak.

Bertahun-tahun kemudian baru saya tahu sesuatu. Bersekolah di negeri tidak hanya lebih prestisus dan berbiaya lebih murah.

Bersekolah di sekolah negeri yang bagus juga memperbesar peluang lolos ke PTN terbaik melalui jalur khusus undangan. Zaman dulu namanya PMDK, sekarang namanya SNMPTN.

Baca Juga: Ganti Cara Belajar dengan Zenius Education


Persaingan ke Sekolah Negeri

Anak sulung saya mengalami mendaftar ke SMP Negeri melalui jalur akademik PPDB Kota Bandung. Jalur ini menggunakan nilai UN plus insentif jarak dari rumah ke sekolah. Makin dekat jaraknya, makin besar insentifnya.

Namun, karena rumah kami di luar jarak itu, dia tidak mendapat poin tambahan. Murni berbekal nilai UN saja. Alhamdulillah, dia diterima di SMPN pilihannya. 

Tahun itu dan tahun-tahun selanjutnya saya cukup rajin memantau PPDB Kota Bandung dan segala kisah kisruh PPDB SMP di Bandung

Yang paling dramatis sepertinya penggunaan surat sakti SKTM (surat keterangan tidak mampu) dan penerapan sistem zonasi. 

Kisruh pendaftaran di sekolah negeri.
Sekolah negeri selalu diminati.

Untungnya saya tidak bisa bersiul. Kalau bisa, mungkin saya sudah bersiul-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu. Eh, kok malah jadi seperti burung kutilang.

Karena saya tidak bisa bersiul heran, saya melongo saja melihat hasil PPDB dan sistem zonasi ini. Bagaimana tidak melongo ketika melihat betapa dekat dan rapatnya jarak rumah para calon siswa dengan sekolah. 

Maunya sih berprasangka baik bahwa sekolah negeri itu berada di lingkungan padat penduduk. Maunya sih begitu. Apa daya, pikiran saya telanjur traveling ke mana-mana.

Ketika pikiran saya sedang traveling, bertemulah dengan kabar-kabar tak sedap. Kabar tentang adanya “permainan cantik” untuk menggolkan tujuan masuk ke sekolah negeri.

Astaghfirullah. Sebegitu besarnyakah daya tarik sekolah negeri? Sebegitu prestisius dan bergengsinya?

Tiga tahun setelah PPDB SMP, anak sulung saya kembali mengikuti PPDB. Kali ini ke SMA Negeri. Bukan melalui jalur akademik, melainkan melalui jalur prestasi.

Prestasi yang disodorkannya adalah dua kali juara menjadi lomba menulis tingkat Kota Bandung, plus beberapa bukunya yang terbit di Penerbit Mizan. Salah satunya novel Death Song yang di kavernya tersemat label best seller.

Dia satu-satunya yang mendaftar dengan prestasi menulis. Puluhan pendaftar jalur prestasi lainnya adalah … atlet. Hahaha …. 

Bagaimana dengan si bungsu?


Melipir dari PPDB Sekolah Negeri

Keisengan mengamati PPDB dari tahun ke tahun membuat saya berhitung sejak jauh-jauh hari.

Tidak usah ribet-ribet menghitung dengan rumus phytagoras, limit, atau rumus lainnya. Saya juga nggak paham. Hehehe….

Cukup hitungan simpel jarak dari rumah saya ke SMP Negeri terdekat, usia anak saya yang baru 11 tahunan ketika lulus SD, perkiraan nilai UN-nya nanti, dan sejenisnya.

Tak lupa masukkan kemungkinan ada faktor n berupa “permainan cantik” oleh para oknum orangtua.

Bimbang. Mencoba peruntungan dalam PPDB SMP Negeri di Bandung atau tidak usah? Mendaftar ke sekolah negeri atau langsung saja ke sekolah swasta?

Saya menarik napas, lalu mengembuskannya. Berkali-kali. Itu harus. Kalau tidak bernapas, saya bisa mati. 

Di tengah kebimbangan itu saya melihat ada SMP swasta baru. Betul. BARU. Baru dibuka, belum ada muridnya.

Tapi saya familier dengan nama sekolahnya. Nama sekolah itu sama dengan nama tempat bimbel di sulung dulu. Saya browsing, lalu saya datangi langsung untuk menggali informasi lebih dalam.

Informasi tentang sekolah
Cari informasi selengkap mungkin.


Seminggu kemudian saya datang lagi untuk mendaftar. Ya, saya memutuskan melipir dari persaingan memperebutkan kursi di PPDB SMP Negeri.

Sebagai pendaftar gelombang pertama, saya dapat diskon besar. Diskon itu penting. Tapi merasa yakin dan mantap lebih penting lagi.


Pertimbangan Memilih Sekolah Swasta

“Widiiiih….banyak duit euy daftar ke swasta!”

“Bodoh amat kamu tuh. Kan bisa daftar ke sekolah negeri. Deket tuh dari rumah kamu.”

“Nekat banget sih daftar ke sekolahan yang baru buka. Belum ada lulusannya, belum ketahuan kualitasnya.”

Huuuft, kenyang deh dikomentari seperti itu. Tipikal warganet dan tetangga nyinyir banget. Suka seenaknya mengomentari dari sudut pandang sendiri. 

Padahal mah ya, beda keluarga beda cerita. Beda orang beda sepatu. Nggak bisa memaksakan ukuran sepatu kita ke kaki orang lain. 

Banyak hal yang menjadi pertimbangan saya sebelum akhirnya mendaftarkan si bungsu ke sekolah swasta. Berikut ini beberapa di antaranya.


1. Jarak ke sekolah.

SMP Negeri terdekat itu, mau dibilang dekat … ya nggak dekat-dekat amat. Lebih dari 700 meter. Dulu sih segitu dekat. Tapi dengan peraturan zonasi, jarak itu menjadi jauh. 

Tahun sebelumnya jarak 700 meter memang masih masuk, tetapi di jarak terjauh.

Cari aman, saya langsung daftar ke swasta saja. Kalau ikut PPDB Negeri dulu, lalu tidak diterima, baru daftar ke sekolah swasta di gelombang terakhir … uang bayarannya keburu membengkak.

Well, salurkanlah hobi berburu diskon di jalan yang benar. 


2. Usia.

Si bungsu belum berusia 12 tahun ketika lulus SD. Pada tahunnya itu, usia menjadi salah satu faktor penentu untuk diterima di sekolah negeri. Diutamakan yang usianya sudah lebih matang.

Di sekolah swasta lebih bebas. Dan terbukti, di kelasnya dia menjadi salah satu anak paling muda. Masih bocil pisan.


3. Lingkungan.

Sejujurnya, sejak dulu saya kurang sreg dengan lingkungan sekolah negeri terdekat itu. Kenapa? Wallahu a’lam. Susah dijelaskan. Hehe…

Kakaknya pun merasa nggak sreg. Makanya dulu itu dia memilih SMP Negeri yang lebih jauh dengan risiko tidak mendapat tambahan skor dari jarak. 

Kalau sejak awal sudah nggak sreg, tak elok rasanya jika memaksakan diri. 

Uniknya, di sekolah swasta baru itu saya langsung merasa sreg pada kunjungan pertama. 


4. Fasilitas.

Merasa sreg karena gedung dan fasilitas lainnya? Hehe … sebagai sekolah baru, gedungnya kecil saja. Halamannya pun kecil, hanya cukup untuk parkir beberapa motor guru. Lab dan fasilitas pendukung lainnya belum ada.

Gedung baru yang lebih luas dan lengkap fasilitasnya masih dalam proses pembangunan. Di gedung baru itu nantinya ada SD, SMP, dan SMA.

Bukan fasilitas fisik yang membuat saya jatuh hati, melainkan fasilitas nonfisik. Dari adanya kelas tahfiz (khusus siswa muslim), kelas English conversation, tes psikologi gratis (yayasan sekolah ini juga memiliki lembaga psikologi), sampai bimbel gratis di kelas 9. 

Tes psikologi di awal dilakukan untuk melihat gaya belajar anak dan jenis kepribadiannya. 

Kalau sudah mengetahui gaya belajarnya seperti apa, melakukan cara seru asah otak juga akan semakin menyenangkan.

kepribadian dan gaya belajar
Sistem pengajaran yang membuat anak senang belajar.


5. Pengajar dan Pengajaran

Meskipun sekolah baru, sekolah swasta ini digerakkan oleh orang-orang yang sudah matang dan profesional di bidang pendidikan.

Sebelum mendirikan sekolah formal, mereka sudah lebih dulu eksis di jalur bimbel. 

Kakaknya dulu bimbel sana. Sekian ratus purnama lalu pun saya dan teman-teman suka ikut try out di tempat bimbel yang sama.

Itu yang membuat saya mantap. Selama si sulung belajar di sana pun saya merasa cocok dengan pengajar dan sistem pengajarannya.


Ikhtiar Memberikan yang Terbaik

Mungkin saya yang pesimistis duluan setelah mendengar kasus-kasus “main cantik” di luar sana. Meskipun belum tentu terjadi di sekolah yang kami tuju, tetapi rasanya tetap miris.

Kalau masuknya sudah main uang dan menghalalkan segala cara, bagaimana dalam prosesnya nanti? Bagaimana output alias keluarannya nanti?

Kalau itu “ikhtiar” mereka untuk memberikan pendidikan terbaik pada anak-anak mereka, maka saya pun berikhtiar dengan cara saya.

Daripada menggunakan uang jutaan untuk memuluskan jalan ke sekolah negeri, saya memilih langsung ke sekolah swasta saja. 

Di swasta semua sama-sama membayar. Kalaupun ada perbedaan nominal  itu karena perbedaan gelombang mendaftar.

Oh, uang jutaan itu bukan nominal receh bagi saya yang freelancer. Single parent, pula. 

Pada anak-anak saya bilang, “Insya Allah, untuk pendidikan kalian Mami usahakan yang terbaik. Tapi kalau untuk seneng-seneng, hedon-hedon, Mami agak pelit. Sesekali saja kita staycation atau makan-makan di luar.”

Alhamdulillah, anak-anak mau mengerti. Mereka pun mengerti kalau kami sedang makan di luar atau staycation, si Mami malah sibuk bikin konten. Hehehe …. Kan buat mancing duit dateng lagi.

Seperti ketika kami staycation di Hotel Hilton Bandung. Ssst, itu menginap gratis, satu paket dengan pekerjaan saya sebagai pengisi acara penulisan di hotel itu.

Sekarang si bungsu sudah lulus SMP. Benar, saya tidak ikut berburu SMA negeri. Saya sudah mendaftarkan dia ke SMA di yayasan yang sama pada gelombang awal. Hitung-hitungan saya, biaya yang saya keluarkan sampai kelas 12 nanti jatuhnya malah lebih murah. 

Kalau untuk kuliahnya nanti, saya sangat-sangat berharap dia bisa mengikuti jejak saya dan kakaknya berkuliah di PTN. Biaya untuk berkuliah di PTS yang bagus sunggguh membuat saya migrain dan mules sekaligus.

Mengetahui saya mendaftarkan si bungsu ke sekolah swasta, lagi-lagi ada tetangga dan kenalan yang nyinyir. Kenapa ke sekolah swasta? Kenapa bukan ke sekolah negeri?

Ah, sekarang sudah tahu kan apa alasan saya kenapa memilih sekolah swasta. 


Salam, 

Triani Retno A

www.trianiretno.com

Tidak ada komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.